Deputi bidang Pelayanan Publik Kementerian PANRB Diah Natalisa dalam Diskusi Virtual terkait Perkembangan Perubahan UU Pelayanan Publik, Senin (01/03).
JAKARTA – Usia UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik sudah menginjak 11 tahun, dan butuh penyempurnaan. Dukungan atas penyempurnaan itu dilakukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, dengan masuknya rancangan perubahan UU tersebut dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Atas hal tersebut, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) menyatakan apresiasi, khususnya kepada Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU). “Berhadapan dengan situasi pandemi Covid-19, pengaturan penyelenggaraan pelayanan publik menjadi kebutuhan yang mendesak untuk segera dibahas di DPR,” ujar Deputi bidang Pelayanan Publik Diah Natalisa, dalam diskusi virtual terkait perkembangan perubahan UU Pelayanan Publik, Senin (01/03).
Sejalan dengan inisiatif DPD, Kementerian PANRB juga telah mempersiapkan naskah akademik untuk menyempurnakan UU tersebut. Dalam proses penyusunan naskah akademik, Kementerian PANRB bekerja sama dengan beberapa lembaga swadaya masyarakat, pakar administasi publik, hukum, ekonomi, serta akademisi dari Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Padjadjaran, Universitas Diponegoro, Universitas Sriwijaya, Universitas Gunadarma, serta perguruan tinggi lainnya.
Diah menyampaikan beberapa poin penting yang selama ini belum diatur dalam UU Pelayanan Publik. Diantaranya adalah perlunya norma pengaturan mengenai etika penyelenggaraan pelayanan, agar terhindar dari konflik kepentingan.
Diah menyampaikan, pelayanan publik berbasis elektronik harus menjadi basis pelayanan untuk memudahkan dan transparansi kepada masyarakat. Perubahan yang nantinya dibahas parlemen, juga perlu pengaturan mengenai kewajiban melakukan inovasi yang berkelanjutan oleh penyelenggara pelayanan, sebagai langkah memenuhi ekspektasi masyarakat.
Perlu juga penegasan mengenai pelayanan inklusif yang berlandaskan keadilan dengan tidak membedakan status sosial, ekonomi, dan latar belakang penerima layanan. “Pelayanan publik mampu beradaptasi terhadap keragaman harapan masyarakat dan mengakomodasikannya ke dalam tata kelola pelayanan publik,” ungkap Diah.
Poin penting lainnya adalah perlunya peran swasta dan pemberdayaan masyarakat sebagai mitra penyelenggaraan pelayanan publik. Sebab, urusan pelayanan publik membutuhkan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta.
Sementara itu, Deputi Persidangan DPD RI Sefti Ramsiaty menjelaskan, ada landasan sosiologis perlunya perubahan UU ini. Diantaranya adalah perkembangan teknologi informasi dan digitalisasi pelayanan. Landasan lainnya adalah bahwa pelayanan publik bersifat dinamis, perlu penyederhanaan pelayanan, persepsi masyarakat, serta perkembangan politik dan administrasi masyarakat.
Sefti menegaskan, penggunaan teknologi dalam pelayanan akan menjadi substansi baru yang akan ditambahkan dalam UU tersebut. Inovasi pelayanan publik, termasuk insentif, juga menjadi hal yang akan dibahas oleh parlemen. “Akan dibahas juga mengenai ganti rugi atau kompensasi,” ungkap Sefti.
Diskusi virtual ini juga dihadiri oleh Dekan FIA UI Eko Prasojo, Guru Besar Ilmu Hukum FISIP Unpad Nandang Alamsah Deliarnoor, Asisten Perumusan Kebijakan Pelayanan Publik Kementerian PANRB M. Imanuddin, Tim Sekretariat PPUU Setjen DPD RI, dan beberapa pihak terkait. (don/HUMAS MENPANRB)