JAKARTA – Kurangnya fasilitas kesehatan di Indonesia untuk mendeteksi infeksi berat kriteria sepsis 3, mengakibatkan terlambatnya diagnosis, pengobatan, hingga berakibat kematian. Kondisi ini menginspirasi dr. Robert Sinto menggagas inovasi Kriteria qSOFA (quick sequential organ failure assessment)-laktat.
“Kriteria qSOFA-laktat merupakan sistem sederhana untuk diagnosis sepsis atau infeksi berat di layanan gawat darurat di Indonesia dan diharapkan mampu menggantikan kriteria sepsis-3 yang telah digunakan di dunia kesehatan internasional sejak 2016,” ujar Robert Sinto yang merupakan Dokter Ahli Muda Kementerian Kesehatan.
Robert yang juga Dosen Luar Biasa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini menjelaskan bahwa kriteria qSOFA-laktat terbukti mempercepat diagnosis dan menilai progonosis pasien infeksi berat. Cepatnya diagnosis berakibat pasien mendapatkan pengobatan sedini mungkin dan dapat menyelamatkan dari kematian.
Penemuan ini diawali dari penelitian berdasarkan 1.200 data yang dikumpulkan dari 3.000 pasien di Instalasi Gawat Darurat RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
Dengan penambahan satu pemeriksaan penunjang yang sederhana, akurasi qSOFA-laktat mencapai 0.74, sedangkan akurasi kriteria sepsis-3 adalah 0.75. Selain itu, qSOFA-laktat menghabiskan biaya sekitar Rp55.000 hingga Rp60.000, sedangkan kriteria sepsis-3 mencapai Rp450.000 hingga Rp500.000. Inovasi qSOFA-laktat juga menggunakan point of care test dengan waktu pemeriksaan hanya kurang dari lima menit.
Robert menjelaskan dengan kriteria sepsis-3 membutuhkan pemeriksaan diagnosis lengkap, yang sayangnya tidak selalu tersedia di rumah sakit di Indonesia, bahkan tidak secara rutin dilakukan di rumah sakit rujukan. Akibatnya, diagnosis infeksi berat pada pasien menjadi terlambat dan berujung pada keterlambatan pengobatan, bahkan dapat berujung pada tingginya kematian pasien infeksi berat.
Saat ini qSOFA-laktat telah diterapkan dalam praktik klinis sehari-hari serta telah masuk dalam Panduan Praktik Klinis di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. “Pemeriksaaan dengan qSOFA-laktat ini merupakan penyederhanaan deteksi infeksi berat serta sangat mudah, murah, cepat, dan tersedia di seluruh layanan kesehatan di Indonesia,” ujar Robert yang saat ini merupakan mahasiswa Doctor of Philosophy in Clinical Medicine di University of Oxford.
Sebelumnya, anggota Tim Penanganan Penyakit Infeksi New-Emerging dan Re-Emerging (PINERE) RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo ini juga berperan aktif dalam penciptaan inovasi terkait dengan penyakit demam berdarah dengue (DBD). Inovasi tersebut adalah Skor Dengue dan pemahaman kebocoran plasma pada DBD.
Robert menjelaskan bahwa Skor Dengue adalah inovasi cara deteksi kebocoran plasma pada pasien DBD, sebagai pengganti ultrasonography (USG) perut yang tersedia terbatas di seluruh fasilitas layanan kesehatan di Indonesia. “Dengan menggunakan pemeriksaan laboratorium sederhana dan rutin, dokter dapat lebih mudah menetapkan adanya kebocoran plasma berat pada pasien sehingga pemantauan dan tata laksana optimal dapat disesuaikan,” ujar perwakilan Indonesia pada Asia Pacific Sepsis Alliance dan Asia Working Group on Antimicrobial Resistance ini.
Saat ini, Robert sedang berada dalam proyek inovasi yang bekerja sama dengan peneliti dari Asia dan Eropa. Penelitian tersebut bertujuan menciptakan sistem pemantauan dan penggunaan antibiotik secara lebih rasional guna menekan laju infeksi oleh kuman kebal antibiotik yang merupakan masalah global.
Berbagai inovasi dan keikutsertaan Robert dalam berbagai penelitian serta pengabdian kepada masyarakat didasari kecintaannya pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Berkat kecintaannya ini, Robert berhasil membawa pulang Piala Adhigana pada kategori The Future Leader dalam ajang Anugerah ASN di penghujung tahun 2021 lalu. (ald/HUMAS MENPANRB)