BANDA ACEH – Pola komunikasi publik antara lembaga negara dengan media massa perlu semakin diperkuat, dengan mencari bentuk dan metode yang lebih tepat. Dalam hal ini kedua pihak harus memahami peran dan fungsi masing-masing, sehingga informasi yang memang harus sampai ke masyarakat dapat tersalurkan dengan baik.
Untuk menuju ke sana tentu tidak bisa dilakukan dengan sim salabim, tetapi memerlukan proses pembelajaran bersama. “Pemerintah dan pers perlu menyamakan bahasa,” ujar Kepala Biro Hukum, Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian PANRB Herman Suryatman, dalam seminar Penguatan Pola Komunikasi Lembaga Negara dengan Media Massa yang diselenggarakan oleh The Jawa Pos Institute Pro Otonomi (JPIP), di Banca Aceh (26/03).
Diakui bahwa isu mengenai reformasi birokrasi kurang menarik bagi kalangan pers, dibanding dengan isu-isu seperti korupsi, atau isu politik. Terlebih tahun 2014 ini, semua media menempatkan berita-berita politik di halaman utamanya. Padahal saat ini pemerintah tengah gencar-gencarnya menggalakkan gerakan reformasi birokrasi, yang sangat memerlukan dukungan dari media massa serta elemen bangsa lain.
Persoalan birokrasi di tanah air tak lepas dari struktur organisasi pemerinatah yang gemuk, rekuitmen CPNS yang diwarnai KKN, politisasi birokrasi dan lain-lain. Sebenarnya pemerintah sudah memiliki grand design reformasi birokrasi, yang belakangan disederhanakan menjadi 9 program percepatan reformasi birokrasi. Selain lebih sederhana, juga rasional dan lebih operasional.
Bahkan, sebagian dari 9 percepatan itu sudah dilaksanakan, seperti rekrutmen CPNS yang obyektif, rasional, bebas KKN, promosi jabatan secara terbuka, evaluasi dan audit 16 kementerian/lembaga. “Namun gaungnya kurang terdengar, padahal perubahannya sudah kelihatan, dan masyarakat sudah merasakan buahnya,” ujar Herman.
Untuk itu, dia mengajak kalangan pers untuk bersinergi dalam kampanye reformasi birokrasi. Sebab hal ini bukan untuk kepentingan Kementerian PANRB, tapi perubahan ini ditunggu-tunggu oleh masyarakat. “Kalau pers memberitakan, maka apa perubahan itu juga diketahui oleh masyarakat,” tambahnya.
Pers diharapkan memiliki strategi inovatif dalam melakukan kampanye publik berbasis budaya, stategi ini diharapkan strategi mencuci sendiri, membuat masyarakat peduli, dan ikut andil dalam membangun birokrasi bersih kompeten dan melayani. Dukungan pers tidak hanya sekedar memberitakan apa itu kegiatan reformasi biokrasi, tapi diharapkan menjadi fungsi control, sehingga birokrasi berubah karah yang lebih baik.
Sementara itu, dalam diskusi para peserta yang merupakan wartawan, mengkritik masih banyaknya lembaga pemerintah yang masih tertutup terhadap pers, sehingga para wartawan kesulitan mendapatkan informasi yang benar. Akhirnya mencari cari informasi di luar yang mungkin tidak akurat.
Menurut Herman, semestinya hal seperti itu tidak perlu terjadi lagi di era keterbukaan ini. Dengan diberlakukannya UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, mestinya masing-masing memahami, mana yang laik publish, dan mana informasi yang tidak semestinya tidak diberitakan. “Kalau kedua pihak sudah satu bahasa, maka masing-masing akan tahu batas-batasnya,” tambah Herman.
Seminar ini menghadirkan pembicara, antara lain Kepala Biro Hukum dan Humas BPKP, Ketua KIP, Kepala Biro Humas KY, Kepala Biro Humas BPK. (swd/HUMAS MENPANRB).