SEMARANG – Lembaga pemerintah termasuk POLRI perlu meredefinisi peran dan kedudukannya, dikembalikan kepada hakekatnya, yaitu to serve the public. Upaya reformasi di tubuh POLRI untuk mengubah jati dirinya dari ‘polisi yang militeristik’ menjadi ‘polisi sipil’ masih terbentur pada mindset dan cultural set yang sudah terpola sejak bergabung dengan TNI.
Hal itu diungkapkan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi dalam paparannya pada acara Apel Kepala Satuan Wilayah (Kasatwil) 2014 Kepolisian Republik Indonesia, di Akademi Kepolisian (Akpol), Semarang, Selasa (2/12).
Acara tersebut dibuka oleh Presiden Joko Widodo dan dihadiri oleh Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, Menkopolhukam Tedjo Edhy, Kapolri Jenderal Polisi Sutarman. Selain Yuddy, Menteri Dalam Negeri Cahyo Kumolo, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, dan Gubernur Lemhanas Budi Susilo Supandji juga bertindak sebagai pembicara.
Lebih lanjut Menteri Yuddy mengingatkan, bahwa semua kewenangan yang dimiliki pemerintah termasuk jajaran kepolisian adalah karena kehendak rakyat. "Rakyatlah yang menyebabkan kita berada di sini. Karena itu birokrasi harus hadir untuk memberikan kemudahan bagi seluruh rakyat. Kepentingan rakyatlah yang harus diutamakan," ujarnya di hadapan 31 Kapolda dan 451 Kapolres dari seluruh Indonesia.
Diakuinya bahwa berbagai perubahan struktural dan instrumental sebenarnya sudah dilakukan POLRI, namun demikian perubahan struktural dan instrumental tersebut belum sepenuhnya dibarengi dengan perubahan kultural. Hal ini dapat dimaklumi mengingat perubahan kultural jauh lebih sulit untuk dilakukan. Faktor kapasitas sumber daya manusia merupakan elemen pokok yang menentukan dalam perubahan tersebut.
Pria kelahiran Bandung 29 Mei 1968 ini menambahkan, visi dan misi reformasi birokrasi di lingkungan POLRI perlu diinternalisasikan kepada seluruh jajaran POLRI dari level pimpinan puncak hingga petugas yang berdinas di lapangan. “Untuk itu, agenda reformasi birokrasi di lingkungan POLRI perlu direview secara terus-menerus, disesuaikan dengan dinamika yang berkembang serta kebutuhan dalam meningkatkan kinerja pelaksanaan tugas POLRI,” tegasnya.
Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) sebagai salah satu lembaga pemerintah yang diberikan tugas untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Sebagai bagian dari birokrasi atau bagian dari aparatur negara, POLRI juga harus melaksanakan reformasi, termasuk dalam mengoptimalkan kerja sama lintas sektoral dengan lembaga-lembaga atau elemen lainnya. Ini diperlukan untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan tugas dan fungsinya sebagai alat negara, penegak hukum, pelindung dan pengayom serta pelayan masyarakat.
Diakuinya, secara umum kondisi birokrasi saat ini masih jauh dari kondisi ideal. Setidaknya terdapat tujuh kelemahan kelembagaan pemerintah, yakni organisasi belum tepat fungsi dan sasaran, kewenangan masih banyak disalahgunakan dan overlapping, pelayanan publik belum memenuhi kebutuhan dan kepuasan masyarakat, pola pikir dan budaya kerja belum mendukung birokrasi yang efisien, efektif, produktif, profesional dan melayani, peraturan perundang-undangan tumpang tindih, tidak jelas dan multi tafsir, kuantitas penyebarannya tak sesuai kebutuhan, dan kualitas dan produktifitas masih rendah.
Dalam konteks kekinian, POLRI sebagai bagian dari aparat negara pun masih menghadapi banyak tantangan dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi. Antara lain masih kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja POLRI, peningkatan gangguan keamanan yang ditandai dengan meningkatnya intensitas dan kualitas kejahatan konvensional, kejahatan transnasional, separatisme dan terorisme yang muncul sebagai akibat ketidakpuasan atas kebijakan pemerintah, meningkatnya potensi konflik pasca pilkada.
Selain itu, lanjut Yuddy, POLRI masih menghadapi tantangan untuk melakukan reformasi birokrasi secara internal agar kinerja POLRI dapat meningkat sekaligus mengurangi ketidakpercayaan masyarakat.
Menurut Yuddy, salah satu pembenahan internal yang dapat dilakukan oleh POLRI dalam jangka pendek adalah mereviu kembali organisasi agar struktur yang dibangun dapat membantu menjawab tantangan tersebut. POLRI harus selalu mengupayakan peningkatan kapasitas kelembagaan. ”Percuma suatu organisasi memiliki struktur yang besar, tetapi kapasitas kelembagaannya rendah. Bahkan menjadi sangat tidak bijaksana, apabila organisasi besar yang dibiayai dengan uang rakyat tetapi tidak dibarengi dengan kapasitas yang memadai untuk memberikan nilai tambah bagi publik tersebut,” tandas Menteri.
Kapasitas kelembagaan dalam hal ini dapat diartikan sebagai kemampuan suatu organisasi untuk melaksanakan fungsi-fungsi dan mencapai tujuan-tujuan secara efektif dan efisien yang didasari pada suatu tinjauan secara terus-menerus terhadap kondisi-kondisi kerangka kerja, serta pada penyesuaian dinamis dari fungsi-fungsi dan tujuan tersebut.
Peningkatan kapasitas organisasi, dapat difokuskan dari tiga tingkatan yang sangat strategis dalam suatu organisasi, yaitu kapasitas sistem, yang meliputi kerangka aturan dan kebijakan pendukung; kapasitas lembaga yang meliputi tata cara, sumber daya, pengambilan keputusan, struktur organisasi, budaya kerja, dan sistem informasi manajemen; serta kapasitas individu, yaitu pegawai, yang meliputi pengetahuan, kemampuan, kompetensi, dan etos kerja.
Dengan memperhatikan peningkatan kualitas pada masing-masing tingkatan, dari tingkatan sistem, lembaga, hingga pada tingkatan individu, maka upaya peningkatan kapasitas kelembagaan akan lebih holistik, komprehensif, dan tidak parsial. Dengan demikian, upaya peningkatan kapasitas kelembagaan tersebut akan mempunyai dampak terhadap perbaikan yang sistematis.
Kelembagaan POLRI telah melalui sejarah yang cukup panjang. POLRI pernah diintegrasikan bersama TNI menjadi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ), yang perannya cukup melembaga terutama pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Pasca gerakan reformasi, POLRI dikembalikan posisi dan perannya sebagai alat negara penegak hukum dan dipisahkan dari TNI pada tanggal 1 April 1999 yang kemudian dikukuhkan dengan Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan POLRI dan TNI. Pemisahan POLRI dari TNI ini menjadi titik balik (turning point) perubahan paradigma yang sangat signifikan dan kemudian dilanjutkan dengan langkah-langkah reformasi POLRI.
Kemudian melalui Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 2000, POLRI ditempatkan kedudukannya langsung di bawah Presiden. Peran POLRi diperkuat lagi dalam Tap MPR nomor VII/MPR/2000 yang disebutkan sebagai berikut: “Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum, memberikan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat” [vide Pasal 6 ayat (1)].
Reformasi POLRI tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan penerbitan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang memberikan landasan hukum kelembagaan POLRI hingga saat ini. Dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tersebut, disebutkan bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”. (sgt/ags/HUMAS MENPANRB)