Pin It

JAKARTA – Membenahi birokrasi akan menjadi tantangan utama pemerintahan baru. Tidak mudah bagi Jokowi-JK untuk membereskan aneka masalah struktural, mulai dari tumpang tindih peraturan dan kebijakan, postur birokrasi yang gemuk dan boros, korupsi yang melekat pada sistem, dan kinerja yang masih diwarnai kepentingan politik.  Reformasi Birokrasi Summit merekomendasikan dua langkah pemecahan masalah, yaitu penataan kelembagaan dan pembenahan sumber daya manusia.
 
Agar kedua langkah ini tak sekedar janji di atas kertas, diperlukan upaya menjadikan reformasi birokrasi sebagai gerakan sosial yang dikawal terus-menerus. Rizal Malik, lead advocator reformasi birokrasi dari Program Reform the Reformers-Kemitraan mengemukakan, “Reformasi birokrasi berkaitan dengan ribuan proses tumpang tindih antarfungsi-fungsi pemerintahan, melibatkan jutaan pegawai, dan memerlukan anggaran yang tidak sedikit. Karena itu, penataan kelembagaan ulang secara struktural tak bisa dibentuk sekali jadi dan seketika”.
 
"Ketika solusi ini memerlukan waktu dan konsolidasi terus menerus, upaya lain yang bisa dilakukan adalah memperjelas prosedur operasional dalam pemerintahan dan menjalankan fungsi koordinasi," tutur Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Eko Prasodjo, pada Pertemuan Puncak Reformasi Birokrasi di Hotel Luwansa, Jakarta, Selasa (9/9).
 
Di sisi lain, pembenahan profesionalitas dan integritas aparatur sipil negara harus selalu berjalan. Rambu pengawasan hingga pemberian reward and punishment berdasarkan sistem merit sebenarnya sudah tersirat dalam UU Nomor  5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).  Hanya saja, dalam menerapkannya, pemerintah baru harus mengubah pola pikir dan budaya kerja birokrasi yang umumnya dipenuhi oleh patologi-patologi yang dianggap lumrah. Dus, menyembuhkan penyakit birokrasi yang akut dan memperbaiki mutu layanannya membutuhkan manajemen perubahan yang konsisten dan persisten.
 
Kedua solusi tersebut tampaknya menjadi tanggung jawab berat pemerintahan baru. Namun, pelaksanaannya tidak hanya bergantung pada birokrat dan teknokrat saja. Yang tak kalah penting dan selama ini masih kurang digiatkan adalah mengikutsertakan publik. "Reformasi birokrasi terlampau penting untuk diserahkan hanya kepada birokrat.  Masyarakat perlu terlibat bukan cuma sebagai pengguna layanan birokrasi, tapi juga sebagai para pembayar pajak yang aktif mendukung perbaikan birokrasi," tegas Erry Riyana Hardjapamekas, Ketua Tim Independen Reformasi Birokrasi Nasional di tempat yang sama.
 
Forum pertemuan RB Summit ini diantaranya akan menggali apa saja yang bisa dilakukan publik, baik itu dalam bentuk dukungan maupun pengawasan. Forum ini juga akan merekomendasikan perbaikan konkret reformasi birokrasi yang ramah dan transparan bagi publik. Oleh sebab itu, pertemuan ini akan menggalang kolaborasi ide dan gagasan dari tiga pihak sekaligus, yaitu pemerintah, organisasi masyarakat sipil dan dunia usaha.
 
Dari dunia usaha, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Sofyan Wanandi menyampaikan bahwa sebelum bicara reformasi birokrasi, yang perlu diletakkan dengan benar adalah reformasi kebijakan. "Kita ini over-regulated. Apindo melihat banyak kebijakan yang tak perlu, terlebih menyangkut kebijakan perizinan. Walau kami menyadari itikad baik pembuat kebijakan, sayangnya ini didekati dengan banyak kebijakan yang salah," tuturnya. Ia juga menegaskan, reformasi birokrasi hanya bisa diawali dengan perubahan pola pikir birokrat agar berorientasi konsumen, yaitu kepuasan masyarakat sebagai penikmat jasa layanan publik.
 
Dalam forum ini, APINDO memberikan usulan konkret agar presiden baru memerintahkan kepada kabinet hingga jajaran pemerintahan daerah untuk lebih transparan kepada publik. Caranya dengan mengunggah semua informasi program, kegiatan, pejabat yang terlibat, hingga perincian anggarannya ke situsnya. "Dengan ini, 10% masalah birokrasi yaitu soal transparansi bisa selesai. Birokrat akan terdorong membuat program berkualitas dengan anggaran yang masuk akal. Masyarakat juga bisa tergerak untuk mengawasi dan memberi masukan," jelasnya.
 
Dengan begitu, reformasi birokrasi tak lagi menjadi urusan internal pemerintahan, tapi akan menjadi gerakan sosial. Terlebih geliat semangat masyarakat dalam gerakan sosial memang sudah mulai muncul sejak Pemilu yang lalu, mulai dari dukungan masif para relawan hingga partisipasi dalam mengawal proses pemilu. Ini menjadi bekal penting yang dapat dimanfaatkan pemerintah baru untuk menuju birokrasi baru yang lebih sehat. (ags/HUMAS MENPANRB)