JAKARTA – Selama ini pelayanan kepada kaum penyandang disabilitas intelektual (PDI) dilaksanakan berbasis panti sosial. Namun Kementerian Sosial menciptakan inovasi yang memberi layanan berbasis jejaring kerja kepada kaum PDI. Terobosan itu dinamakan Sheltered Workshop Peduli (SWP) yang menggunakan pendekatan partisipatif. Mereka diberdayakan untuk membuat produk Batik Ciprat.
Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kemensos Harry Hikmat mengatakan inovasi ini melibatkan partisipasi aktif dan dilakukan oleh keluarga serta masyarakat. Dampaknya, pendapatan dan kesejahteraan PDI meningkat, mampu mencukupi kebutuhan hidup secara mandiri, serta dapat membantu ekonomi keluarga.
“Bahkan memiliki tabungan karena adanya perbaikan proses bisnis Batik Ciprat dan produk turunannya,” ungkap Harry, dalam tahap wawancara dan presentasi Top 99 Inovasi Pelayanan Publik 2020, di Kementerian PANRB, beberapa waktu lalu.
Harry mengungkapkan, pemasaran Batik Ciprat sebagai ikon produk PDI di semua SWP mengalami lonjakan. Bahkan di Kabupaten Blitar, Magetan, dan Wonogiri mewajibkan seluruh PNS mengenakan Batik Ciprat.
Produk itu berkembang ke banyak varian seperti sandal, sepatu, dan tas dengan motif Batik Ciprat. Di masa pandemi Covid-19, muncul pula masker Batik Ciprat dengan motif virus Corona yang cukup diminati pasar.
Lahirnya SWP berawal dari tahun 2010 berupa kegiatan Rumah Kasih Sayang Ponorogo. Kemudian pada 2015, SWP memberikan layanan kepada PDI di beberapa wilayah kabupaten yang tersebar di Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Tahun 2017, SWP mulai fokus pada kegiatan ekonomi produktif pada sentra usaha. Harry menyatakan, SWP merupakan inovasi bagi pemberdayaan penyandang disabilitas yang mampu menghilangkan sitgma, termarjinalkan, menjadi beban keluarga, dan tidak mampu bersaing di dunia kerja. Kehadiran SWP memberikan kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas untuk memperoleh pendapatan, mencapai kemandirian, dan terwujudnya masyarakat inklusif.
Berdasarkan data Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 2015, ada sekitar 22,1 juta jiwa penyandang disabilitas. Mayoritas tinggal di daerah pedesaan dan sulit mengakses layanan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 21,6 persen termasuk penyandang disabilitas intelektual kurang mampu mengakses layanan pendidikan sehingga mereka tidak dapat berpartisipasi dalam sektor formal dan tersisih dalam persaingan dunia kerja.
Hadirnya SWP sebagai solusi mengatasi permasalahan tersebut, dengan menciptakan wadah/lembaga pendampingan, pelatihan, dan kesempatan kerja di sentra terlindung bagi PDI dalam masyarakat. Tujuan akhirnya adalah memperoleh pendapatan dan mencapai nol kerentanan.
Program SWP menggugah kesadaran, kemauan, dan memberdayakan masyarakat untuk mampu mengidentifikasi masalah, merencanakan, dan pemecahan permasalahan PDI di lingkungannya. Pemecahan masalah itu dilakukan dengan memanfaatkan potensi lokal dan fasilitas yang tersedia.
SWP dikembangkan oleh Balai Besar Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Intelektual (BBRSPDI) Kartini Temanggung. “Berorientasi pemberdayaan masyarakat dengan mengedukasi tentang pemecahan masalah dan pemberdayaan mereka,” ungkap Harry.
Inovasi ini efektif dan efisien karena mampu memberikan layanan inklusif dengan memberdayakan Pusat Pelayanan Keluarga Sejahtera (PPKS). Biaya layanan SWP lebih murah dibandingkan layanan berbasis panti, hasilnya dapat dirasakan masyarakat secara nyata. (don/HUMAS MENPANRB)