Deputi bidang Pelayanan Publik Kementerian PANRB Diah Natalisa, saat menjadi keynote speaker dalam webinar Model Pengembangan Agrowisata untuk Menunjang KEK Pariwisata Likupang, Kamis (21/10).
JAKARTA – Menurunnya performa pariwisata di era pandemi Covid-19 mengharuskan semua pemangku kebijakan lintas sektor untuk dapat mencari jalan keluar bersama. Penerapan standar pelayanan publik yang adaptif dengan kondisi saat ini dapat menjadi salah satu jawaban untuk membawa pariwisata bangkit dan kembali eksis.
“Dengan kondisi krisis seperti saat ini, para stakeholder pariwisata juga dapat memicu munculnya inovasi-inovasi pelayanan kepariwisataan dan munculnya sistem-sistem informasi pelayanan yang terintegrasi,” jelas Deputi bidang Pelayanan Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Diah Natalisa, saat menjadi keynote speaker dalam webinar Model Pengembangan Agrowisata untuk Menunjang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata Likupang, Kamis (21/10).
Dalam paparannya, Diah menekankan agar setiap unit penyelenggara pelayanan khususnya administrator KEK Likupang agar mampu membuat standar pelayanan untuk setiap jenis pelayanan yang diselenggarakan. Standar pelayanan ini dapat digunakan sebagai acuan dalam memberikan pelayanan kepada para stakeholder.
Standar pelayanan publik juga dapat menjadi pintu masuk bagi pengguna layanan untuk memberikan feedback perbaikan bagi pelayanan yang diselenggarakan. Administrator KEK Likupang juga diminta menyediakan sistem informasi, baik dalam bentuk elektronik maupun non-elektronik.
“Melalui sistem informasi, kita tidak hanya dapat menyampaikan informasi terkait pelayanan yang diselenggarakan namun juga dapat mempromosikan berbagai layanan kepariwisataan yang tersedia di seantero negeri ini,” imbuhnya.
Sementara itu, dalam kaitan dengan kondisi pandemi Covid-19, Guru Besar Universitas Sriwijaya ini menggarisbawahi beberapa hal yang perlu menjadi perhatian bagi administrator KEK Likupang sebagai pengelola dan pengembang potensi kepariwisataan di Likupang. Pertama, dari sisi kebijakan pelayanan, yaitu pengelola daya tarik wisata wajib memperhatikan protokol kesehatan lewat standar pelaksanaan higienitas dan standar pelayanan untuk penerapan jaga jarak.
Kedua, memiliki standar operasional prosedur (SOP) yang mengacu pada Panduan Sertifikasi CHSE (Cleanliness, Health, Safety, Environment Sustainability) di daya tarik wisata, serta protokol kesehatan dan ketentuan lain yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan, pemerintah daerah, dan Satuan Tugas Covid-19 Daerah. Berikutnya, menyiapkan SOP untuk menangani kondisi darurat kesehatan dan berkoordinasi dengan fasilitas pelayanan kesehatan terdekat.
Lebih lanjut Diah menjelaskan, penerapan standar pelayanan publik di era pandemi juga perlu diiringi dengan profesionalisme sumber daya manusia (SDM). Salah satunya dengan melatih karyawan, pemandu wisata lokal, dan/atau masyarakat sekitar daya tarik wisata untuk mempersiapkan dan melaksanakan SOP sebelum daya tarik wisata dibuka kembali, termasuk uji coba dan simulasi, secara bertahap.
Hal lain yang tidak kalah penting adalah penyediaan sarana dan prasarana kepariwisataan. Penambahan fasilitas cuci tangan pakai sabun yang memadai dan mudah diakses oleh wisatawan; penggunaan pembatasan/partisi sebagai perlindungan tambahan untuk pekerja/SDM pariwisata pada loket pembelian tiket, customer service, dan lain-lain; serta penyediaan pos kesehatan yang dilengkapi dengan tenaga kesehatan dan sarana pendukungnya untuk mengantisipasi wisatawan yang mengalami sakit.
Pengelola tempat wisata juga harus menyediakan dan memperbanyak media informasi, seperti imbauan protokol kesehatan wajib pakai masker, jaga jarak minimal 1 meter, cuci tangan, serta larangan masuk ke lokasi bagi wisatawan dan pekerja pariwisata yang memiliki gejala demam, batuk, pilek, nyeri tenggorokan, dan/atau sesak nafas.
“Terkait wisatawan yang tidak diperkenankan masuk karena alasan kesehatan dan keamanan untuk pencegahan dan penanganan Covid-19, penyelenggara layanan pariwisata harus memiliki sistem pengembalian dana bagi wisatawan, serta menginformasikannya kepada wisatawan melalui media luring atau daring,” pungkas Diah. (rum/HUMAS MENPANRB)