JAKARTA – Rasa empati menjadi pemicu Stefany Fernandez hingga berhasil menciptakan gerakan Reach the Unreachable. Ia dan timnya bergerak mengajar kaum disabilitas yang kurang tersentuh perhatian dan sering terpinggirkan. Namun gerakannya bukan atas dasar belas kasihan, melainkan dengan konsep bermain sambil belajar sehingga anak-anak merasa terlibat didalamnya.
Sejak bergabung dengan Program Studi Farmasi Politeknik Kesehatan Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 2015, Stefany Fernandez berhasil membawa warna berbeda bagi lingkungannya. Reach the Unreachable adalah gerakan dari komunitas yang dibentuk Stefany, yakni Farmasi untuk NTT (FUN).
“Kami mencoba menjangkau teman-teman, saudara, dan masyarakat yang kurang terjangkau,” ungkap wanita kelahiran 16 September 1988 tersebut.
FUN yang didirikannya bersama apoteker muda asal NTT itu tidak hanya bergerak di bidang kesehatan dan sosial, melainkan juga memberi perhatian khusus bagi dunia pendidikan. Stefany yang berprofesi sebagai dosen meyakini passion menjadikan pekerjaannya lebih menyenangkan.
Mendidik anak-anak penyandang disabilitas bukan hal yang sederhana. Bersama komunitasnya, ia merancang alat peraga belajar sendiri, terutama untuk anak-anak difabel yang tidak tersentuh.
Beberapa kegiatan lain yang ia lakukan bersama FUN adalah bedah rumah, FUN for Christmas bersama anak-anak disabilitas, FUN berbagi masker untuk Suku Boti, pemberian beasiswa kepada mahasiswa berprestasi, dan aksi sosial lainnya. “Bekerja dalam tim bersama FUN adalah sebuah passion. Passion adalah perasaan antusias atau kegembiraan yang kuat untuk suatu hal, atau tentang melakukan sesuatu,” ujar Stefany.
Padatnya kegiatan sosial tidak menghilangkan kompetensi dasar Stefany sebagai apoteker. Stefany terpilih menjadi ketua tim peneliti bersama Sentra Pelayanan Pertanian Padi Terpadu (SP3T) Provinsi NTT. Mereka meneliti tanaman endemik NTT untuk dimanfaatkan menjadi obat malaria. Bukan di laboratorium, mereka meneliti tanaman tersebut dari Suku Boti, suku yang cukup terasing di NTT.
“Menjadi satu tantangan dan kebanggaan sendiri, ketika diminta masuk tim peneliti tanaman obat malaria di salah satu suku terasing yang masih mempertahankan budaya leluhur dan menolak modernisasi di zaman milenial saat ini,” ungkapnya. Suku Boti adalah salah satu peradaban terasing di Pulau Timor. Masyarakat Boti masih dipimpin seorang raja yang disebut Sonaf.
Penelitian yang dihasilkan berbasis pada pemanfaatan kearifan lokal daerah NTT untuk pengobatan tradisional berdasarkan bukti empiris yang digunakan untuk malaria. Masyarakat Boti menolak modernisasi, sehingga semua sumber kehidupan berasal dari alam. Banyak tanaman obat asli suku ini yang belum teridentifikasi sehingga membutuhkan penelitian lanjutan.
Berakar dari nilai luhur bangsa dan rasa empati dalam dirinya, Stefany menghasilkan buah-buah terbaik bagi ruang pendidikan Nusantara. Baginya, hal-hal luar biasa dimulai dari sesuatu yang sederhana, salah satunya adalah pendidikan bagi kaum yang selama ini merasa terasing. “Karena anak-anak adalah calon pemimpin masa depan. Bagaimana pun, seperti apa pun kondisinya, mereka harus mendapat perhatian lebih,” ucapnya.
Pada usianya yang terbilang muda, Stefany berhasil menjadi 10 besar kategori The Future Leader dalam ajang Anugerah ASN 2020 yang diselenggarakan Kementerian PANRB. Bukan tanpa hambatan ia melakukan segala capaian tersebut, motivasi diri adalah tantangan terbesar bagi Stefany.
Dari timur Indonesia, ia mengajak kita semua untuk mencintai budaya dan nilai kepedulian yang diwariskan guru bangsa. “Karena ini bukan tentang saya, dia atau mereka, tetapi semuanya tentang Indonesia. Mari menenun lewat Nusa Tenggara Timur,” tutup Stefany. (don/HUMAS MENPANRB)