JAKARTA – Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) yang setiap tahun digelar di auditorium Birawa, kompleks hotel Bidakara tak urung mengundang pertanyaan jurnalis, yang ditujukan kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Yuddy Chrisnandi. Pertanyaan serupa juga terlontar ketika Kementerian PANRB menggelar acara penyerahan penghargaan akuntabilitas kinerja pemerintah kabupaten dan kota di Balai Kartini, Jakarta.
Pertanyaan itu wajar, karena jurnalis selalu menempatkan dirinya sebagai social control. Dalam hal ini, sasaran tembaknya adalah Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 10/2014 tentang Peningkatan Efektivitas dan Efisiensi Kerja Aparatur Negara, yang ditindaklanjuti dengan SE No. 11/2014 tentang Pembatasan Kegiatan Pertemuan/Rapat di Luar Kantor.
Dalam SE tersebut, aparatur penyelenggara pemerintahan diinstruksikan agar menyelenggarakan seluruh kegiatan instansi pemerintah di lingkungan masing-masing atau lingkungan pemerintah lainnya, kecuali melibatkan jumlah peserta yang tidak mungkin ditampung di kedua tempat tersebut.
Bukan itu saja, Menteri Yuddy juga menerbitkan Surat Edaran No. 13/2014 tentang Gerakan Hidup Sederhana, yang antara lain membatasi jumlah undangan resepsi pernikahan, dan acara sejenis lainnya. Maksimal undangan 400, dengan peserta yang hadir maksimal 1.000 orang.
Lahirnya surat edaran tersebut merupakan implementasi dari Gerakan Penghematan Nasional yang diperintahkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Rapat Kabinet tanggal 3 November 2014. Meskipun langkah serupa sudah pernah dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya, tetapi apa yang dilakukan Yuddy ternyata mengundang pro kontra. Bahkan ada sementara pihak yang menilai Yuddy ini sebagai salah satu menteri yang kontroversial.
Tak pelak, salah satu TV swasta pun menghadirkan Yuddy Chrisnandi dalam program acara ‘Gestur’ yang ditayangkan live pada hari Rabu, 17 Desember 2014, pukul 19.00 – 20.00 WIB. Kamis pagi, 18/12, jurnalis kembali mempertanyakan ketika Bappenas menggelar Musrenbangnas di Bidakara. Yang tak kalah hebohnya, media sosial begitu ‘galak’ menyerang Yuddy. Bukan mustahil, pertanyaan serupa bakal bermunculan dalam waktu-waktu mendatang.
Bahkan, Yuddy Chrisnandi secara santun sempat mematahkan pakar komunikasi Tjiptalesmana, yang bersama Yuddy menjadi nara sumber dalam acara tersebut. Yuddy membeberkan bahwa kebijakan yang dilakukan itu bukan hasil dari pemikiran sesaat, tetapi sebelumnya sudah melakukan pengumpulan data, informasi, baik termasuk dari segi legalnya. “Tidak mungkin seorang menteri mengambil kebijakan hanya dari pemikiran sesaat,” ujarnya.
Pangkas pemborosan
Dikatakan, kebijakan itu diambil dengan berbagai latar belakang yang selama ini berkembang dan menjadi semacam kebiasaan di lingkungan birokrasi, terutama terkait dengan pemborosan. Antara kegiatan di hotel, tak lepas dari biaya untuk sewa kamar, restoran serta perjalanan dinas yang menyangkut komponen tiket perjalanan, hotel, dan uang saku (lumpsum). Meski sebagian besar instansi pemerintah sudah menerapkan sistem ad cost, tetapi nilainya tetap masih besar, dan ada ruang untuk dilakukan efisiensi.
Tidak berhenti di situ, karena hingga kini masih saja ada pihak-pihak yang memanfaatkan kegiatan itu untuk menarik manfaat untuk kepentingan pribadi. “Saya mendengar pengakuan dari pengelola hotel sendiri, dari peserta rapat seratus orang, kamar yang digunakan hanya 40 tetapi tetap harus membuat bill untuk 100 kamar,” ujar Yuddy. Karena itu pria kelahiran 29 Mei 1968 ini tetap bersikukuh untuk bahwa kebijakan yang diambilnya sudah tepat.
Terhadap penggunaan ballroom di Balai Kartini, Yuddy menolak anggapan bahwa ruangan itu termasuk mewah. “Anda sudah pernah melihat ballroom di Balai Kartini belum. Anda tahu tidak kalau Balai Kartini itu milik Yayasan Kartika Eka Paksi, TNI Angkatan Darat yang juga bagian dari pemerintah,” sergahnya.
Menteri mengaku mencermati hampir seluruh pemberitaan, yang tanpa menjelaskan secara rinci, berapa tariff yang harus dibayar. Mestinya, media juga menyebutkan berapa tariff yang dikenakan untuk sebuah acara pertemuan, yang melibatkan peserta sekitar 1.500 orang. Tanpa akurasi data, pemberitaan bisa menyesatkan.
Secara rinci, Yuddy menjelaskan bahwa tariff yang dikenakan di Balai Kartini dengan dua kali snake berkisar 60 sampai 70 ribu rupiah per kepala. Dibandingkan dengan hotel yang biasanya menegenakan tarif Rp 120 – Rp 155 ribu, tariff di Balai Kartini jauh lebih murah. “Ini baru satu kegiatan. Coba hitung kalau seluruh kementerian, seluruh pemerintah daerah melakukan hal seperti ini. Berapa penghematan yang bisa didapat,” jelasnya.
Tak salah
Dijelaskan juga bahwa penggunaan ballroom di Balai Kartini itu tidaklah menyalahi aturan yang telah dibuatnya itu. Pasalnya, dalam surat larangan rapat di hotel mewah, terdapat poin yang menyatakan, jika penggunaan fasilitas diperbolehkan selama ada kerja sama lintas sektoral.
Kementerian PANRB memang punya ruang serbaguna, tapi hanya muat 200 - 400 orang. Bertanya ke Kemendagri, tapi ternyata tidak cukup juga. Alternatifnya adalah Manggala Wana Bhakti dan Balai Kartini yang sama-sama masih milik pemerintah.
Dikatakannya, ballroom Balai Kartini memiliki kapasitas 1.500 sampai 2.000 orang. Sesuai dengan jumlah peserta, yang terdiri dari undangan para bupati/walikota sebanyak 505 kabupaten kota di Indonesia. Para bupati itu pasti membawa ajudan, dan setidaknya seorang staf. "Rapat diperbolehkan menggunakan gedung milik pemerintah, baik milik kementerian, lembaga, pemda, TNI, kepolisian dan instansi lainnya," ujar Yuddy.
Akan halnya dengan acara Musrenbangnas yang digelar di Audtorium Bidakara, Kamis (18/12). Kepada wartawan, Yuddy menjelaskan bahwa gedung itu milik Yayasan Bank Indonesia. Bank Indonesia merupakan institusi Pemerintahan Negara.
Kepada wartawan, Menteri PANRB Yuddy Chrisnandi menegaskan bahwa penyelenggaraan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) di Bidakara Jakarta, Kamis 18/12, sudah sesuai dengan Surat Edaran (SE) Menteri PANRB Nomor 11 Tahun 2014. "Bidakara merupakan fasilitas milik Yayasan Bank Indonesia, jadi penyelenggaraan Musrenbang oleh Bappenas di Bidakara sudah tepat karena termasuk fasilitas milik instansi pemerintah" ujarnya.
Sebagaimana diketahui pagi tadi Bappenas menggelar acara Musrenbang. Acara tersebut dibuka oleh Presiden Jokowi serta dihadiri oleh ribuan peserta yang terdiri dari para Menteri Kabinet Kerja, Gubernur, Bupati/Walikota, jajaran birokrasi pemerintahan dan berbagai pemangku kepentingan, baik dari pusat maupun daerah.
Yuddy menambahkan, agar instansi serta pihak terkait menyimak dengan cermat SE 11/2014, jangan sampai terjadi kesalahpahaman. “Semua agenda pemerintahan harus berjalan, efisiensi dilakukan dengan tetap menjaga efektivitas dan pencapaian target kinerja," tuturnya.
Dalam SE tersurat dengan jelas agar instansi menyelenggarakan seluruh kegiatan instansi pemerintah di lingkungan masing-masing atau di lingkungan instansi pemerintah lainnya, kecuali melibatkan jumlah peserta kegiatan yang kapasitasnya tidak mungkin ditampung untuk dilaksanakan di lingkungan instansi masing-masing atau instansi pemerintah lainnya.
Menteri Yuddy, yang saat ini menjadi pusat perhatian lantaran kebijakan mengenai Gerakan Penghematan Nasional dan Gerakan Hidup Sederhana yang salah satu aktualisasinya melalui pembatasan kegiatan pertemuan/rapat di luar kantor . "Aparatur negara adalah abdi negara dan abdi masyarakat. Konsekuensinya ya harus merakyat, harus menjadi guru dan teladan bagi rakyat," demikian pungkas Yuddy.
Undangan pernikahan
Bukan hanya pembatasan kegiatan pemerintahan di luar kantor yang mendapat tanggapan masyarakat. Gerakan hidup sederhana yang membatasi jumlah undangan dalam pernikahan di hotel-hotel mewah juga tak luput dari perhatian masyarakat.
Bahkan, dalam acara Gestur, di TV One juga menghadirkan salah seorang PNS dari Pemprov DKI Jakarta ke studio. Dia mengkonfirmasikan SE No. 13/2014 dalam kaitannya dengan adat dan budaya dari beberapa suku yang ada di Indonesia. “Bagaimana mungkin orang Batak hanya mengundang 400 orang. Sementara tak jarang pesta pernikahan biasanya berlangsung tiga sampai empat hari,” ujarnya.
Menjawab pertanyaan itu, Menteri Yuddy menegaskan bahwa SE tersebut diterbitkan untuk mengajak aparatur negara untuk menjadi teladan bagi masyarakat dalam melaksanakan hidup sederhana. Jangan sampai rakyat terganggu, apalagi memandang apartur negara senang pamer kakayaan dengan menggelar pesta di hotel-hotel mewah. “Ini tidak baik, karena aparatur negara harus peka terhadap rakyat. Kalau mau jadi aparatur negara harus mau merakyat,” tegas Yuddy.
Yuddy tidak menampik adanya kebiasaan dari berbagai suku di tanah air, seperti Batak, Sunda, Jawa dan lain-lain. Dalam hal ini, lanjut Menteri, masyarakat tetap bisa menyelenggarakan, tetapi sebaiknya tidak dilakukan di hotel-hotel mewah. “Saya rasa acara itu bisa digelar di rumah, atau gedung-gedung pertemuan di sekitar tempat tinggal. Jadi tidak terkesan wah.., dan menimbulkan pemborosan. Meskipun mereka tidak menggunakan uang Negara,” imbuhnya.
Dia menambahkan bahwa aturan dalam Surat Edaran itu sebenarnya sudah jauh lebih longgar disbanding di jaman Pak Harto, yang ketika itu dibatasi hanya 250 undangan. Bahkan Presiden Soeharto waktu menikahkan putri bungsunya, di Taman Mini. Undangannya tidak banyak, dan tidak mengganggu masyarakat, tidak menimbulkan kemacetan lalu lintas. “Kita harus memberikan teladan kepada masyarakat, bukannya malah jor-joran,” imbuhnya. (ags/HUMAS MENPANRB)