JAKARTA – Meskipun UU Pokok Kepegawaian menetapkan bahwa PNS yang ditetapkan sebagai tersangka mestinya diberhentikan sementara dari jabatannya, namun tampaknya hal itu masih belum dilaksanakan sesuai ketentuan. Pembiaran itu tidak sejalan dengan semangat reformasi birokrasi serta pemberantasan korupsi.
Salah satu kasus yang masih hangat adalah pelantikan salah satu pejabat di suatu daerah baru-baru ini. Padahal dia ditetapkan sebagai terdakwa dan harus menjalani sidang di Pengadilan Tipikor, terkait kasus dugaan korupsi sebesar Rp 590 juta pada anggaran tahun 2012.
Pejabat yang berwenang di daerah dimaksud beralasan, kasus yang dihadapi pejabat tersebut belum incraht dari pengadilan negeri. “Kalau kami berhentikan dari jabatannya pun juga tidak ada alasan hukum yang tetap,” katanya. Alasan lain yang dikemukakannya karena yang bersangkutan telah menjadi abdi negara kurang lebih 30 tahun, dan bulan Agustus ini akan memasuki masa pensiun.
Kenyataan tersebut, menurut Asdep Penegakan Integritas SDM Aparatur Kementerian PANRB Endang Susilowati, merupakan salah satu contoh yang sering terjadi di daerah maupun Kementerian/Lembaga.
Semestinya, PNS pejabat yang berstatus terdakwa dapat dilakukan penahanan terhadap yang bersangkutan. Penahanan tersebut berakibat diberhentikan dari jabatan, tapi statusnya tetap sebagai PNS sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan tetap. “Rujukannya jelas yaitu, Undang-Undang no. 43/1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
Dalam Pasal 24 dinyatakan, PNS yang dikenakan penahanan oleh pejabat yang berwajib karena disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan, sampai mendapat putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dikenakan pemberhentian sementara.
Endang menambahkan, dalam Pasal 23 ayat (5) huruf c disebutkan, seorang PNS yang telah divonis dan mempunyai kekuatan hukum tetap karena kejahatan yang berhubungan dengan jabatannya, diberhentikan dengan tidak hormat sebagai PNS. “Korupsi merupakan salah satu jenis kejahatan yang dimaksud dalam pasal ini,” tambahnya.
Pembiaran terhadap kasus semacam ini akan menjadi contoh buruk dalam penegakan dan kepatuhan hukum dari Pejabat Pembina Kepegawaian, serta tidak sejalan dalam upaya pemberantasan korupsi. Selain itu, secara logika, orang yang berstatus tersangka, lebih-lebih menjadi terdakwa akan sulit berkonsentrasi dengan tugas jabatannya. Apalagi sampai terjadi penahanan badan. “Tidak mungkin yang bersangkutan dapat menjalankan fungsi dalam jabatannya,” tambah Endang. (im/HUMAS MENPANRB)