JAKARTA – Gerakan revolusi mental tidak berhenti pada perubahan pola pikir dan sikap kejiwaan saja, tetapi harus diikuti dengan perubahan kebiasaan, dan pembentukan kharakter yang menyatukan antara pikiran, sikap, dan tindakan sebagai suatu integritas. Implementasinya, tidak boleh dilakukan dengan pendekatan vertical, tetapi horizontal dalam bingkai semangat gotong royong.
Demikian benang merah dari Seminar Revolusi Mental Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kemenetrian PANRB, Senin (31/08). “Revolusi mental merupakan salah satu unsur dari revolusi Pancasila. Revolusi mental ini diorientasikan agar mental Pancasila bisa menjiwai dan mendorong perubahan di bidang material dan politik yang sejalan dengan idealitas Pancasila,” ujar pengamat politik Yudi Latief, di Jakarta, Senin (31/08).
Menurut cendekiawan muda ini, revolusi mental berangkat dari asumsi bahwa dengan mengubah mentalitas akan menimbulkan perubahan perilaku. Perilaku yang terus diulang akan menjadi kebiasaan, adat istiadat yang merupakan moralitas. Kebiasaan yang dipertahakan akan membentuk karakter. Dengan demikian, yang dikehendaki dari gerakan revolusi mental tidak berhenti pada perubahan pola pikir dan sikap kejiwaan saja, tetapi juga perubahan kebiasaan, dan pembentukan karakter yang menyatukan antara pikiran, sikap, dan tindakan sebagai suatu integritas.
Yudi mengatakan, dasar dan haluan pembangunan mental-karakter ini adalah nilai Pancasila, terutama sila ke-1, 2, dan 3. Pancasila memandang bahwa dengan segala eksistensi dan hak asasinya, setiap pribadi manusia tidaklah bisa berdiri sendiri terkucil dari keberadaan yang lain. “Setiap pribadi membentuk dan dibentuk oleh jaringan relasi sosial. Tanpa kehadiran yang lain, manusia tak akan pernah m,enjadi manusia sepenuhnya,” ujar Yudi Latief.
Dalam kemajemukan karakter masyarakat Indonesia, lanjut Yudi, gotong royong adalah nilai fundamental bangsa ini. meski dalam realitas kehidupan bangsa, terutama di bidang politik, gotong royong itu masih berjalan saat ini, namun dalam kondisi toleransi negative. “Tolong menolong dalam kejahatan dan pengrusakan,” imbuhnya.
Gerakan revolusi mental, menurut Yudi Latif, harus menempatkan gotong royong dalam konteks toleransi positif, yakni tolong menolong dalam kebaikan dan pembangunan. Karena itu, revolusi mental harus merestorasi warisan budaya gotong royong yang mulai pudar, dengan mengembangkannya dalam pengertian yang lebih luas, tambahnya.
Sementara itu, psikolog Sarlito W. Sarwono menyentil berbagai permasalahan sosial dengan pentingnya revolusi mental. Secara umum, dia mengedepankan delapan prinsip revolusi mental. Revolusi mental bukan proyek, tetapi gerakan sosial, yang fokus untuk mendorong perwujudan enam nilai strategis instrumenla untuk mendorong kemajuan bangsa.
Harus ada tekad politik untuk menjamin kesungguhan pemerintah; Harus bersifat lintas sektoral, tidak boleh diserahkan pada suatu kemenetrian tertentu; Bersifat partisipatoris (kolaborasi pemerintah, masyarakat sipil, swasta, dan akademisi); Revolusi mental juga harus diawali dengan program pemicu (value attack) untuk mengubah perilaku masyarakat secara konkret dan cepat. Desain program revolusi mental juga harus ramah pengguna (user friendly), popular, menjadi bagian dari gaya hidup, dan sistemik-holistik.
Sarlito menambahkan, nilai-nilai yang dikembangkan harus bertujuan untuk mengatur kehidupan sosial (moralitas publik), bukan moralitas privat. Revolusi mental juga harus dapat diukur dampaknya. “Indikator keberhasilan revolusi mental setidaknya ada tiga hal, yakni Indonesia ramah, Indonesia mandiri, dan Indonesia kita,” demikian Sarlito. (ags/HUMAS MENPANRB)