Pin It

RSUD Tugurejo Semarang

RSUD-TUGEROJO

 

Perubahan dalam reformasi birokrasi yang terpenting adalah perubahan kultur birokrasi, persepsi, mental model, paradigma. Kalau perubahan struktural saja, begitu orangnya pergi, akan Iuluh sebabnya. Di sinilah pentingnya penerapan model budaya kerja unggul, yang di RSUD Tugurejo Semarang dikenal dengan Problem Solving for Better Health/Hospital (PSBH). 

Pengembangan budaya kerja di RSUD ini dilatarbelakangi kebiasaan yang melekat selama ini bahwa pasien yang berobat tidak bayar, pasien sidikit, penanganan secara manual, berpikir hanya menghabiskan anggaran, tidak berorientasi pada pendapatan, tidak adanya imbalan (reward) dan sanksi (punishment). 

Menurut direktur RSUD Tugurejo dr.Endang Agustinar, setelah status rumah sakit yang dipimpinnya ditetapkan sebagai badan layanan umum daerah (BLUD), harus ada paradigma baru, bahwa pelayanan harus prima. 

Karena pada hakekatnya, para pasien yang masuk rumah sakit berobat itu membayar. Sistem pelayanan pun harus berbasis teknologi. Menegakkan disiplin dan adanya reward dan punishment. “Untuk semua itu dibuat visi baru dengan paradigma baru dan nilai-nilai dalam pelayanan,” ujarnya.

Dengan PSBH, setiap unit mengenali masalah yang dihadapi, membuat POA (Plan of Action) dan melakukan upaya penyelesaian secara sistematis. Hasilnya dituangkan dalam bentuk risalah. Risalah tersebut dipresentasikan dalam lomba antar unit pelayanan, digelar dengan nama Mini Konvensi PSBH

Dari hasil pengembangan PSBH yang sudah dimulai dari tahun 2008, hasiilnya sangat positif dan dapat dirasakan perubahan dan peningkatan pelayanannya. Selain pendapatan dari tahun ke tahun yang meningkat dan di atas target yang ditetapkan, jumlah pengunjung rawat jalan maupun rawat inap terus meningkat. “Hasil survey Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) tahun 2012 skornya 90,07, atau memuaskan,” tambah Endang

Pilih Masalah yang Mudah, Lalu Selesaikan

RSUD-TUGEROJO-II

Rumah Sakit Umum Daerah sering kali identik dengan kumuh, tidak transparan, pelayanan buruk. Citra buruk itu seakan telah melekat di mata masyarakat. 

Dulu juga banyak penyakit yang menghinggapi PNS di RSUD Tugurejo. Ada Kudis (kurang disiplin), ada TBC (tidak bisa komputer), Asma (asal mengisi absen), KRAM (kurang terampil), Asam Urat (asal sampai kantor terus tidur); Ginjal (gaji ingin naik tapi kejanya lamban), Pucat (pulang cepat) dan MAGH, (makan gaji buta he.. he.. he..). “Kini penyakit itu sudah jauh berkurang,” tutur direktur RSUD Tugurejo dr.Endang Agustinar. 

Tetapi coba tengok di RS Tugurejo Semarang, yang sudah berubah. Perubahan ini seiring diterapkannya Problem Solving for Better Health/Hospital (PSBH), sebagai model gerakan budaya kerja untuk membangun pelayanan prima, yang dikembangkan oleh Manajemen RSUD Tugurejo, yang sekarang dikenal dengan RSUD Dr. Adhiyatma Semarang. 

Endang Agustinar mengungkapkan, langkah pertama dalam PSBH adalah memilih masalah untuk diatasi. Masalah yang dihadapi adanya perbedaan antara harapan dan kenyataan. Banyak masalah tentang mutu atau pelayanan di rumah rumah sakit harus diatasi. Dalam mengatasi masalah kuncinya adalah peduli, yaitu peka terhadap keadaan disekitarnya. 

Dalam memilih masalah yang akan diatasi harus nyata, pentingnya diatasi yaitu mengutamakan kepentingan pelanggan, mengatasi masalah secara berkesinambungan. Penyelesaian masalah harus mampu menjawab kegiatan apa, dengan siapa, dimana, jangka waktu dan tujuan yang diharapkan (jawaban harus kongkret). Jenis solusinya yaitu dengan pelatihan, penyuluhan, sosialisasi, tindakan medis atau perawatan. Selain itu, dilakukan pula perbaikan peraturan, peningkatan lingkungan kerja yang kondusif, dan efisiensi manajemen. 

Menurut Direktur RSUD Dr. Adyatma Semarang, untuk memecahkan masalah telah dibentuk 32 Unit PSBH yang merupakan manivestasi dari unit pelayanan yang ada di rumah sakit tersebut. Pemecahan masalah digali oleh Tim PSBH Unit Pelayanan yang merupakan masalah atau problem yang ada di masing-masing unit pelayanan. Setiap kegiatan menggunakan sumber daya setempat, tidak menimbulkan biaya baru, artinya menggunakan anggaran yang telah tersedia. Dan setiap penyelesaian masalah harus lebih meningkatkan kinerja dan perbaikan pelayanan kepada masyarakat. “Dalam pemecahan masalah harus realistik dan dapat dikelola, mulai dengan mengatasi setiap bagian kecil, sebelum mengatasi bagian lain yang lebih besar,” tutur Endang. 

Contoh kasus, pada tahun 2012 sebanyak 30% atau 210 pasien dari 700 pasien TB di RSUD Tugurejo Semarang tidak melanjutkan pengobatannya karena bosan minum obat. Masalah terjadi karena pasien tidak mengerti bahwa sangat penting pengobatan TB harus teratur. 

sampai sembuh. Masalah lainnya di RSUD Tugurejo, instrumen bedah berupa pean, gunting dan pinset sering tidak lengkap karena tercecer atau tercampur dengan instrumen bedah lain. Hal seperti itu terjadi setidaknya 5 kali per bulan. Faktor penyebabnya ditemukan, karena tidak adanya lembar kontrol terhadap jumlah dan kondisi instrumen sebelum dan sesudah digunakan. 

Contoh lainnya, perawat yang bertugas di ruang ICU tidak bisa membaca EKG dengan benar. Sebanyak 20 orang atau 83,3% karena perawat tidak mendapatkan pelatihan. Faktor penunjang terjadinya masalah tersebut karena tidak mendapat pelatihan dan tidak tersedianya dana untuk melatih seluruh perawat ICU. 

Bagaimana solusinya ? Untuk mengatasi masalah itu, kelompok PSBH membuat program pelatihan cara membaca EKG. Narasumbernya adalah petugas yang sudah memahami cara membaca EKG. Mereka membagi ilmunya kepada para petugas yang belum bisa membaca EKG sambil bekerja, tidak perlu dilakukan pelatihan secara khusus di dalam kelas. “Hasilnya 100% perawat di ICU sekarang mampu membaca EKG dengan benar,” tambahnya. 

Disini kita menggunakan ide atau pendekatan baru, menggunakan sumber daya yang tersedia. Pelatihan ini tidak memerlukan biaya, karena dilakukan dalam proses belajar sambil bekerja. Yang terpenting perawat yang menerima pelatihan bisa diuji kemampuannya. 

Dalam pemecahan masalah tersebut, Tim PSBH mencari solusinya.Tim mendiskusikan, bagaimana penyelesaian terbaik dalam menyelesaikan masalah tersebut. PSBH menyusun rencana kerja yang baik dalam satu artikel yang tersusun mulai dari latar belakang, tujuan kegiatan, langkah yang akan diambil, jadwal kegiatan, rencana anggaran dan evaluasi. Dan bagaimana langkah selanjutnya supaya berkesinambungan. 

Untuk menggairahkan gerakan ini tiap tahun diselenggarakan kegiatan “Mini Konvensi PSBH“ lomba antar kelompok PSBH yang sekarang jumlahnya sudah mencapai 32 kelompok. Tahun 2008 RSUD Tugurejo menjadi juara II Lomba PSBH Nasional yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan RI. 

Dalam konvensi, masing-masin PSBH unit tampil untuk menjelaskan pemecahan masalah yang dihadapi masing-masing unit pelayanan. Sebelum tampil dalam gelar konvensi. PSBH Unit mempresentasikan makalahnya di depan tim juri. Jika dalam pemecahan masalah ini tidak mampu meningkatkan kinerja pelayanan, maka peserta gugur, tidak bisa ikut dalam gelar konvensi. Prinsipnya bila kita memulai dengan menyelesaikan masalah kecil , maka masalah besar tidak akan terjadi.

Semua Pasien Diperlakukan Sama

RSUD-TUGEROJO-III

Wartawan majalah “Layanan Publik” Kementerian PANRB (artikel ini juga bisa dibaca dimajalah Layanan Publik Ed-46) ketika berkunjung berkeliling di rumah sakit tersebut menemukan perbedaan. Mulai dari penampilan gedung dari luar terlihat model minimalis, tidak terkesan jadul. Kalau kita amati di ruangan pendaftaran pasien pelayanannya sudah dengan nomor antrian. Ruangannya cukup bersih. Memanggil pendaftar cukup dengan nomor antrian, tidak lagi dengan nama pendaftar. 

Menurut Endriawan Sutarto dari Tim PSBH, hal ini untuk menghindari kongkalikong dengan orang dalam, sehingga semua calon pasien/ pasien diperlakukan sama. “Kalau mau tanya apakah ada kamar rawat inap kosong atau tidak, cukup melihat di layar yang ada di ruang tunggu. Berapa kamar yang terisi dan kosong sudah tertera dengan jelas. Transparan, tidak lagi kita tutup-tutupi,” ujarnya. 

Transparansi ini merupakan hasil pemecahan masalah oleh tim PSBH. Diceriterakan, “Dulu seorang dokter memesan kamar untuk pasiennya bisa berhari-hari kosong. Sekarang siapapun yang memesan kamar tidak boleh lewat dari 2 jam. Kalau lebih dari 2 jam tidak ada pasien yang masuk, dianggap batal. Hal ini untuk menghindari kamar kosong, padahal banyak pasien yang antri,” tambahnya. 

Lebih lanjut melihat ke ruangan perawatan, di setiap pintu sudah tersedia tempat botol air untuk cuci tangan. Hal ini sebagai bagian dari budaya organisasi, bahwa setiap orang yang masuk dan keluar harus mencuci tangan. 

Gerakan cuci tangan itu sendiri dilakukan dalam setiap apel pagi. Ada peragaan bagaimana mencuci tangan yang benar. Pembina upacara memerintahkan setiap peserta apel secara acak untuk maju ke depan mempraktekkan cuci tangan. Kalau kita tidak bisa cuci tangan dengan benar akan malu, disorakin peserta apel”, tuturnya. 

Budaya lainnya yang dikembangkan di RS Tugurejo Semarang adalah sebelum pertemuan, atau rapat, selalu dilakukan safety briefing. Sebelum mulai bekerja, selalu dilakukan doa bersama. Selain itu, absen dengan sidik jari (finger print). Dibiasakan juga dengan budaya tegur sapa. Gerakan cuci tangan, tidak hanya di internalisasikan kepada para Karyawan RS Tugurejo tapi sudah disosialisasikan juga kepada masyarakat, termasuk para murid sekolah hingga mahasiswa.

Dari ISO hingga Piala CPP

RSUD-TUGEROJO-IV

Pada awalnya, Tim Budaya Kerja PSBH di Rumah Sakit Tugurejo sebagai rumah sakit tipe B sekaligus rumah sakit pendidikan tidak mendapatkan dukungan secara penuh dari manajemen. Ini terlihat waktu mengikuti konvensi budaya kerja di Bandung yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan. Namun setelah mendapatkan predikat juara II, baru mendapat perhatian secara penuh. 

Untuk menggairahkan gerakan budaya kerja, manajemen RS Tugurejo setiap tahun menyelenggarakan acara gathering bagi karyawan dan keluarga dan outbound bagi karyawan. Dari kegiatan ini memberikan efek positif terhadap kinerja. Maka, dengan gerakan budaya kerja model PSBH ini banyak hal dicapai. Dari segi pelayanan dari tahun ketahun meningkat. Pendapat juga selalu naik,bahkan melampaui target. Termasuk, jumlah pengunjung yang juga makin meningkat. 

Manajemen RS juga telah menyepakati nilai-nilai yang dianut dari nama rumah sakit itu sendiri, yaitu RS TUGUREJO sebagai akronim dari Ramah dalam bersikap; Santun dalam berbicara, Tanggung jawab dalam tugas; Unggul dalam pelayanan; Gigih dalam usaha; Utama dalam karya; Rapi dalam penampilan; Empati dalam rasa; Jujur dalam bertindak; Orientasi pelayanan prima. 

Saat ini, sebanyak 21 jenis layanan sudah mendapatkan ISO 9001 – 2008 pada periode 2007 sampai dengan 2010. RSUD Tugurejo juga telah mendapatkan akreditas dari Kementerian Kesehatan dengan predikat “Penuh Tingkat Lengkap”. 

RS Tugu Rejo juga telah memperoleh sertifikat ISO 9001:2008 dalam pelayanan rawat jalan, inap, radiologi, farmasi, laboratorium, dan penunjang lainnya. Dan juga telah memperoleh Piala Citra Pelayanan Prima dari Kementerian PANRB, atas kerja keras dalam memperbaiki pelayanan kepada masyarakat. (SWD/HUMAS MENPANRB)


Cetak   E-mail