19/05/15, 21:17 WIB
JAKARTA - 17 tahun sudah Indonesia menjadi negara yang demokrasinya lebih terbuka. Sebab, era otoriter berhasil digulingkan pada 21 Mei 1998. Masyarakat pun lebih bebas menyatakan pendapat dan berekspresi dibanding era sebelumnya yang penuh dengan kebungkaman.
Berbicara tentang demokrasi itu, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi mengatakan demokrasi berhasil atau tidak tergantung pada pemahaman masing-masing pihak. “Demokrasi ini apakah demokrasi yang seperti ini kita dambakan?,” ucapnya di Grand Sahid, Thamrin, Jakarta, Selasa (19/5).
Dia menyebut Indonesia telah mengeluarkan biaya yang cukup besar selama 17 tahun terciptanya demokrasi. “Sebagai catatan, dalam kurun waktu 17 tahun, negara sudah keluar uang Rp 150 triliun untuk berbagai kegiatan demokrasi,” sebut Yuddy.
Uang yang dikeluarkan itu adalah biaya yang dikeluarkan parpol untuk kegiatan sosial ekonomi masing-masing kandidat yang mengajukan diri jadi pemimpin. Atau pemilu yang notabene berlangsung cukup riuh. Potensi keuangan negara yang dibelanjakan untuk demokrasi itulah hasilnya seperti yang selama ini dilaksanakan. “Rethinking of democracy,” tutur Yuddy.
Sementara itu, politikus Demokrat Syarief Hasan menuturkan selama 17 tahun reformasi, yang perlu dipikirkan adalah pemenuhan terhadap kebutuhan pokok. Setelah terpenuhi, barulah berbicara demokrasi ataupun hak-hak individu. "”Yang penting potret kesejahteraan rakyat,” imbuhnya
Kesejahteraan rakyat kerap kali terlupakan. Seharusnya, prioritas dalam bernegara yakni meningkatkan kesejahteraan rakyat. “Demokrasi adalah bagian dari kesejahteraan, bukan kesejahteraan bagian dari demokrasi,” tandasnya. (Desyinta Nur'Aini/dio)