Pin It

54251113 antri

Kemendagri membantah penilaian Ombudsman tentang Pemda sebagai pemberi layanan publik terburuk.Pengantar:Pelayanan publik di negara ini belum memenuhi standar kelayakan. Basis pelayanan publik tidak bersandar pada pemenuhan hak warga negara. Bahkan, pelayanan publik saat ini dipandang cenderung mengarah pada upaya swastanisasi.

Berikut laporan Sinar Harapan soal pelayanan publik dan ancaman swastanisasi di Indonesia."Mau rapor hijau, rapor kuning, rapor apa saja," demikian kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaam (Mendikbud) Muhammad Nuh. Ia cuek menanggapi penilaian sebuahlembaga nonpemerintah terhadap pelayanan publik di kementerian yang ia pimpin. Nuh ketika itu ditanya terkait penilaian Ombudsman terhadap pelayanan publik di 18 kementerian.

Kemendikbud menjadi satu dari lima kementerian yang diganjar "kartu merah" oleh Ombudsman pada akhir Juli 2013. Kurang dari separuh kementerian diganjar rapor merah karena memberikan pelayanan publik yang buruk. Penilaian itu keluar menjelang akhir masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Ketua Ombudsman Danang Girindrawardana mengatakan, lembaganya memberikan rapor merah kepada sejumlah kementerian karena belum menerapkan seluruh komponen standar dalam UU Pelayanan Publik. Selain rapor merah, kata Danang, Ombudsman juga mengganjar sembilan kementerian dengan "kartu kuning"."Beberapa indikator utama, yaitu tidak transparan memajang waktu, tidak transparan memajang biaya pelayanan, dan tidak memajang maklumat pelayanan," ujar Danang.

Namun, buruknya pelayanan publik tidak saja terjadi di kementerian.Belum lama ini, Ombudsman kembali menyampaikan hasil evaluasinya. Kali ini yang dinilai Ombudsman jauh lebih luas dan menyeluruh. Tidak hanya kementerian, melainkan juga evaluasi pelayanan publik di lembaga negara lainnya.Pemda Paling BurukAnggota Ombudsman Bidang Penyelesaian Pengaduan Budi Santoso mengungkapkan, buruknya pelayanan publik juga terjadi di lembaga negara lain. Hal itu, kata Budi, tergambar dari laporan masyarakat semester pertama 2013. Dalam periode itu, ia melanjutkan, Ombudsman menerima 1.256 laporan dari masyarakat.

Dari seribu lebih laporan yang masuk, kata Budi, institusi negara yang paling buruk dalam memberikan pelayanan publik adalah pemerintah daerah (36%). Setelah itu, kepolisian (17,4%), kementerian atau lembaga negara (10,4%), kantor pertahanan (8,2%), dan badan usaha milik negara dan daerah (6,9%).Budi menjelaskan, pemerintah kabupaten dan kota paling banyak dilaporkan masyarakat karena buruk memberikan pelayanan. Masyarakat juga banyak melaporkan buruknya pelayanan publik di tingkat kepolisian resort (Polres). Hal serupa juga terjadi pada kantor pertahanan di pemerintahan tingkat dua. "Pelayanan di tingkat kabupaten dan kota harus diperbaiki secara ketat," katanya.Namun, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi membantah penilaian Ombudsman.

Ia tidak percaya hasil evaluasi Ombudsman yang menilai pelayanan publik di pemerintah daerah paling buruk.Menurut Gamawan, setiap kementerian atau lembaga negara sudah memiliki standar pelayanan minimal sesuai UU Pelayanan Publik. Jenis pelayanan publik yang diberikan pemerintah, kata Gamawan, bermacam-macam, di antaranya bidang pendidikan dan kesehatan. "Mestinya diukur dari sana," katanya.Sayangnya, Gamawan tidak memiliki data untuk membantah hasil evaluasi Ombudsman.

Ia mengatakan, belum pernah melakukan evaluasi terkait pelayanan publik di daerah.Namun, kata Gamawan, kementeriannya saat ini sedang melakukan evaluasi standar pelayanan minimal di masing-masing daerah. Oleh karena itu, dirinya lebih memilih menunggu hasil evaluasi yang dilakukan kementeriannya. "Hasilnya akan diumumkan akhir tahun ini," ujarnya.

Selain itu, Gamawan juga membantah penilaian Ombudsman bahwa pemerintah daerah adalah institusi yang paling banyak melakukan pungutan liar atau pungli. Menurutnya, Ombudsman harus dapat membuktikan maraknya pungli di pemerintah daerah. Sesuai aturan, kata Gamawan, pemerintah daerah yang memberikan pelayanan di bawah standar minimum bakal mendapat sanksi.Kebijakan dan BirokratBaik buruknya pelayanan publik, kata mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Siti Nurbaya Bakar, bergantung kebijakan yang dibuat dan aparat birokrasinya yang menjalankan kebijakan tersebut.

Menurut Siti, pelayanan publik buruk jika kebijakan yang dibuat tidak bisa dilaksanakan dan aparat birokrasinya korup."Sederhananya, pelayanan publik ini tidak hanya dipengaruhi personal, tetapi juga kebijakannya. Bila dilihat, sistemnya belum duduk dengan tepat," ujar mantan Sekretaris Jenderal DPD tersebut.Abdul Hakam Naja, Wakil Ketua Komisi II, mengatakan, buruknya pelayanan publik karena birokrat yang korup dan sistem atau kebijakan yang tumpang tindih.

Ia mengatakan, aparat birokrat dan sistem atau kebijakan saling terkait."Kalau sistemnya baik, tapi orangnya tidak mengerjakan, (pelayanan publik) tidak akan berjalan dengan baik. Begitu pula kalau orangnya bagus, tapi sistemnya tidak kondusif, (pelayanan publik) tidak berkembang," ujar Abdul Hakam.Deputi Sekretaris Wakil Presiden Bidang Politik, Dewi Fortuna Anwar mengatakan, pemerintah sebetulnya telah memiliki program dan target dari reformasi birokrasi.

Salah satunya meningkatkan pelayanan publik.Namun, diakui Dewi, pelayanan publik yang diberikan pemerintah masih rendah. Hal ini karena mental birokrat yang korup. Upaya mengubah mental birokrat tidak mudah dan mengalami berbagai kendala yang sulit ditebak."Kalau meningkatkan kapasitas teknik, yang tadinya mencatat, sekarang online itu mudah.

Tapi, mengubah birokrat menjadi pelayan masyarakat itu perlu waktu," ujarnya.Untuk mewujudkan program reformasi birokrasi, pemerintah mendapat bantuan dari sejumlah negara, di antaranya Australia dan Korea Selatan.SwastanisasiGuru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gajah Mada, Purwo Santoso mengatakan, pelayanan publik saat ini tidak saja masih buruk, tapi juga tidak merata di seluruh daerah.

Pemberian pelayanan publik cenderung mengarah swastanisasi atau menyerahkan pada mekanisme pasar."Ancang-ancang swastanisasi semakin kelihatan," kata Purwo.Menurut Purwo, satu contoh nyata pelayanan publik yang mengarah pada swastaniasasi terlihat jelas dalam dunia pendidikan dan telekomunikasi. Kondisi pelayanan publik yang mengkhawatirkan ini akibat pemerintah tidak serius memenuhi hak dasar warga negara.

Padahal, kata Purwo, pemenuhan hak dasar warga merupakan tujuan utama dari pelayanan publik."Negara tidak terlalu serius memenuhi hal itu (pemenuhan hak dasar). Basis pelayanan publik tidak memenuhi hak warga negara, melainkan lebih menyerahkannya pada mekanisme pasar," ujarnya. Hal itu sejalan dengan evaluasi Ombudsman soal keengganan aparat pemerintah melayani warga.Ombudsman memang melaporkan keluhan dari masyarakat, terutama soal aparat yang tidak mau memberi layanan, penundaan berlarut-larut, penyalahgunaan wewenang, penyimpangan prosedur, dan pungutan liar (pungli).

Purwo Santoso mengatakan, kondisi pelayanan publik saat ini di bawah rata-rata. Pemerintah tidak memiliki visi kewarganegaraan yang jelas dalam melayani publik. Karena itu, aparat pemerintah harus diberikan pendidikan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pelayanan publik. (Diamanty Meiliana/Vidi Batlolone/Toar Sandy Purukan/Ninuk Cucu Suwanti)

Sumber: http://www.shnews.co/detile-28512-birokrasi-perburuk-layanan-publik.html


Cetak   E-mail