Pin It

JAKARTA – Remunerasi di 98 pemerintah daerah (pemda) sebagai pelopor reformasi birokrasi harus dibatasi. Pengukuran insentif ini harus melalui kinerja dan kekuatan fiskal. Wakil Ketua Komisi II DPR Abdul Hakam Naja berpendapat, remunerasi merupakan kompensasi adanya reformasi birokrasi.

Perubahan sistem ini lebih menuntut kinerja lebih maksimal. Namun, remunerasi ini harus disesuaikan dengan kekuatan fiskal daerah. Jika fiskal di suatu daerah ini lemah maka tidak boleh dijadikan pelopor reformasi birokrasi. Di sisi lain, ujarnya, pemerintah juga harus membatasi belanja pegawai daerah yang tidak boleh di atas 50 %.

Jika anggaran gaji ini terlalu besar, dana untuk fasilitas pelayanan publik pun rendah. Dampaknya akan berpengaruh terhadap kepuasan publik. “Jika publik melihat kinerjanya masih buruk maka remunerasi jangan diterapkan 100%,” katanya ketika dihubungi KORAN SINDOkemarin. Hakam menambahkan, sistem pemberian remunerasi di daerah perlu dibahas secara detail. Dia mencontohkan, remunerasi di Ditjen Pajak sudah berlangsung lama.

Jika dilihat dari nominalnya maka remunerasi dan gaji sudah sangat menyejahterakan pegawai pajak.Faktanya masih banyak petugas pajak seperti Gayus Tambunan yang ditangkap KPK. Politikus PAN ini meminta pemerintah pusat menyusun standar pelayanan dan perencanaan yang ketat, agar reformasi birokrasi yang dijalankan di 98 pemda dapat terukur dengan satu parameter. Hal ini perlu dilakukan karena daerah mempunyai otonomi masing-masing.

Pengamat pemerintahan dari UI Budidharmono berpendapat, remunerasi akan menjadi beban tambahan anggaran pemda. Dia meyakini reformasi birokrasi akan gagal jika kekuatan fiskal di satu daerah lemah.Oleh karena itu, ujarnya, remunerasi belum perlu dilakukan apabila rasionalisasi jumlah pegawai dengan analisis beban kerja belum dilakukan.

Budi menambahkan, kendala lain yang perlu diwaspadai adalah tidak patuhnya kepala daerah akan Kepmenpan dan RB No 96/2013 tentang Penetapan Pilot ProjectReformasi Birokrasi bagi Pemda.Bupati sering menentang aturan gubernur. Para bupati yang menentang rata-rata berkuasa penuh atas daerahnya, karena merasa dipilih oleh rakyat dan bukan gubernur. neneng zubaidah

Sumber: http://www.koran-sindo.com/node/317847


Cetak   E-mail