Pin It

 JAKARTA (Suara Karya): Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) mendorong pembentukan tim gabungan bersama Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Hal ini menyusul kasus politisasi birokrasi yang marak di sejumlah daerah.

Sekretaris Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tasdik Kinanto mengatakan, pembentukan tim gabungan itu sebagai upaya menghadapi politisasi dalam birokrasi yang terjadi pada penyalahgunaan wewenang yang dilakukan pemimpin daerah, misalnya dengan melakukan mutasi pejabatnya tanpa melalui aturan yang ada."Politisasi birokrasi di daerah ini harus dihentikan.

Tim gabungan siap melibasnya," kata Tasdik di Jakarta, Jumat (7/6).Seperti halnya pada dugaan terjadinya pelanggaran yang dilakukan Plt Bupati Kolaka, Sulaweasi Tenggara, Amir Sahaka, karena melakukan mutasi terhadap pejabat-pejabat dalam pemerintahan daerahnya.

Dalam hal ini, menurut Tasdik, mutasi terhadap pegawai pemerintahan daerah tidak dapat dilakukan dengan maksud memberhentikan pejabat strutural (non job) maupun menurunkan pejabat eselon (demosi), melainkan hanya untuk mengisi jabatan yang lowong."Jika dugaan pelanggaran yang dilakukan Plt Bupati Kolaka itu benar maka hal itu tidak sah dan batal demi hukum. Karena itulah, kami mendorong Kemendagri menurunkan tim untuk melakukan investigasi ke lapangan," kata Tasdik.

Sarat PelanggaranSementara itu, Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kabupaten Kolaka Ruhaedin Djamaluddin, menilai, mutasi tersebut sarat dengan berbagai pelanggaran, antara lain, tidak adanya persetujuan dari Mendagri, tidak ada melalui proses Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat). Untuk jabatan eselon II.b juga tidak ada usulan dari Plt Bupati Kolaka kepada Gubernur Sulawesi Tenggara.

Dugaan pelanggaran lain, yakni adanya pemalsuan jabatan lama, pengalihan dari jabatan fungsional tertentu, dalam hal ini guru dan tenaga kesehatan ke jabatan struktural. Pengisian jabatan juga tidak memenuhi syarat kepangkatan karena statusnya tidak jelas."Ada pula pengisian jabatan oleh pegawai negeri sipil (PNS) yang sakit dan tidak pernah melaksanakan tugas, bahkan ada PNS yang sudah menjadi tersangka dalam kasus tindak pidana korupsi," katanya.

Dia menambahkan, mutasi tersebut dinilai menelantarkan pejabat yang diberhentikan dari jabatan struktural ke Kabupaten Kolaka Timur yang merupakan Daerah Otonomi Baru dan belum memiliki struktur organisasi pemerintahan.Ruhaedin menilai, sesuai dengan surat Nomor 820/ 2038/SJ tanggal 24 April yang ditandatangani oleh Sekjen Kemendagri atas nama Mendagri, menyatakan tidak boleh nonjob.

Selain itu, tidak boleh demosi maupun memindahkan pejabat struktural menjadi pejabat fungsional. Jika ternyata pelaksanaan mutasi tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka persetujuan Mendagri akan dibatalkan dan segala kebijakan kepala daerah terkait persetujuan Mendagri tersebut tidak sah.

Untuk diketahui, pada April 2013 tercatat sebanyak 8 pejabat eselon II.b dimutasi, 3 diantaranya dengan status non job, disusul mutasi 4 pejabat eselon III.a dengan 1 pejabat di antaranya nonjob.Kemudian pada bulan berikutnya, Plt Bupati Kolaka kembali memutasikan 37 pejabat struktural eselon II b, 15 orang diantaranya non job.

Hal itu disusul dengan mutasi 92 pejabat eselon III a dengan 39 orang di antaranya nonjob. Lalu, 90 pejabat eselon III.b dengan 30 orang diantaranya nonjob, serta mutasi 115 pejabat eselon IV dengan 18 diantaranya nonjob. (Tri Handayani)

Sumber: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=328234


Cetak   E-mail