Pin It

2021115 Menteri PPPA Ajak Kembangkan Kode Etik Pencegahan Kekerasan Seksual

Foto: KemenPPPA

 

Jakarta, InfoPublik - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengajak lembaga pemerintah, penegak hukum, pendidikan, serta lembaga negeri maupun swasta lainnya untuk mengembangkan kode etik pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Salah satu contohnya adalah Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

"Peraturan ini merupakan terobosan penting karena dapat menjadi pedoman bagi Perguruan Tinggi untuk menyusun kebijakan, serta mengambil tindakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang pada akhirnya dapat menciptakan kehidupan kampus yang semakin positif, tanpa kekerasan. Peraturan ini juga telah memasukan bentuk kekerasan seksual yang terjadi di dunia teknologi informasi komunikasi. Kami juga berharap lembaga lainnya, baik swasta maupun negeri, untuk mulai mengembangkan kode etik di lembaga masing masing," ujar Menteri PPPA dalam keterangan tertulis, Minggu (14/11/2021).

Ia menyatakan, kekerasan seksual dapat menimbulkan dampak yang besar bagi perempuan dan anak, bahkan bisa mencapai kematian, masalah kesehatan mental, hingga hilangnya produktivitas yang berpengaruh terhadap ekonomi.

Di sisi lain, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Puan Maharani, menyebutkan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang masih terjadi hingga saat ini tidak dapat terus menerus diabaikan. "Jika kita mengikuti konstitusi RI, maka angka kekerasan kepada perempuan dan anak harus kita tekan sampai mencapai angka nol. DPR RI terus memperhatikan berbagai kasus yang muncul dan mendorong pemerintah serta aparat penegak hukum agar melindungi korban, jangan sampai korban kekerasan menjadi korban prosedur hukum," ungkapnya.

Manajer Pengabdian Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Lidwina Inge Nurtjahyo menjelaskan, berdasarkan Investigasi Konsorsium Nama Baik Kampus oleh beberapa media di Indonesia pada tahun 2019, 179 anggota civitas akademika dari 79 perguruan tinggi di 29 kota di Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual.

"Bentuk - bentuk kekerasan seksual di kampus, pertama pelanggaran wilayah privasi seksual, misalnya memberikan pertanyaan tentang kehidupan pribadi mahasiswa, menunjukkan gambar konten seksual, menatap dengan intens, dan lain-lain. Kemudian tindakan fisik yang paling berat percobaan dan atau tindakan perkosaan," ungkapnya.

Secara hukum, menurut Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Tiasri Wiandani, saat ini Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) masih berfokus pada pemidanaan tersangka, terdakwa, dan terpidana. "Namun tidak memuat hak akses keadilan bagi korban. Ini yang kita coba dorong agar payung hukum tidak hanya bicara mengenai pemidanaan, tetapi bagaimana upaya-upaya untuk pencegahan, penanganan, dan pemulihan benar-benar bisa dilakukan agar semuanya bisa mendapatkan akses keadilan di dalam kasus-kasus kekerasan seksual," tuturnya.

Sementara itu, Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bivitri Susanti mengungkapkan, hingga saat ini kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak masih tinggi. Pada tahun 2021, terjadi 3.355 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan jumlah korban sebanyak 3.410. (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak Kemen PPPA, periode 1 Januari-31 Mei 2021).

Lebih lanjut, Bivitri menyebutkan, menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara harus bebas dari kekerasan. Namun demikian, masih banyak peraturan perundangan yang mengandung kekosongan hukum serta belum memberikan keadilan bagi korban.

"Dibutuhkan pembentukan hukum yang mampu mengejar ketertinggalan. Penolakan terhadap penciptaan negara yang bebas kekerasan seksual menunjukkan pandangan yang tidak progresif, justru mundur ke belakang. Menjadi tidak memajukan peradaban bangsa, melainkan mundur ke masa-masa belum beradab, di mana perempuan dan anak tidak dianggap sebagai manusia yang utuh dan bermartabat," tutup Bivitri. (*)