Pin It

20250901 Stabilitas Perbankan Jadi Senjata Ekonomi Nasional

Sejumlah pelajar memperlihatkan buku rekening Simpanan Pelajar (SimPel) Bank Jatim pada kegiatan bertajuk Cerdas Menabung Untuk Indonesia Emas dan Gemilang di pelataran Gua Selomangleng, Kota Kediri, Jawa Timur, Selasa (12/8/2025). Kegiatan kolaborasi antara Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Jatim, dan pemerintah daerah setempat tersebut sebagai upaya sosialisasi gemar menabung kepada pelajar melalui program satu rekening satu pelajar dan gerakan hari Rabu sebagai hari menabung. ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/foc.

 

Jakarta, InfoPublik - Stabilitas sektor perbankan makin menjadi sorotan sebagai fondasi utama dalam menjaga keberlanjutan pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam situasi ekonomi global yang penuh ketidakpastian, sektor perbankan diharapkan mampu berperan sebagai motor penggerak aktivitas ekonomi melalui penyaluran kredit, pengelolaan risiko, serta menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan.

Sabilitas perbankan perlu terus dijaga guna menciptakan ruang pertumbuhan yang sehat dan berkelanjutan. Perbankan yang stabil adalah pilar utama dalam menjaga kelancaran sistem pembayaran, mendorong investasi, dan mendukung produktivitas sektor riil.

Menurut data Bank Indonesia hingga kuartal II 2025, sektor perbankan menunjukkan ketahanan yang cukup baik, ditandai dengan rasio kecukupan modal (CAR) di atas 22 persen dan rasio kredit bermasalah (NPL) yang tetap terjaga di bawah 2,5 persen. Meski demikian, tantangan seperti gejolak nilai tukar, tekanan suku bunga global, serta potensi perlambatan ekonomi global masih menjadi faktor yang harus diwaspadai.

Di sisi lain, stabilitas perbankan memiliki korelasi langsung terhadap kepercayaan investor dan dunia usaha. Jika sistem perbankan terguncang, akses terhadap pembiayaan akan terganggu. Ini akan berdampak pada sektor riil, terutama UMKM yang sangat bergantung pada pinjaman bank untuk modal usaha.

Pemerintah pun terus mendorong penguatan regulasi dan pengawasan sektor keuangan melalui kolaborasi antara Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Tujuannya adalah menciptakan sistem keuangan yang lebih inklusif, adaptif, dan tangguh terhadap tekanan eksternal..

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK saat ini adalah Dian Ediana Rae mengungkapkan kinerja intermediasi perbankan stabil dengan profil risiko yang terjaga, yaitu kredit tumbuh 7,77 persen yoy di Juni 2025 (Mei 2025: 8,43 persen) menjadi Rp8.059,79 triliun.

Berdasarkan jenis penggunaan, Kredit Investasi tumbuh tertinggi sebesar 12,53 persen, diikuti oleh Kredit Konsumsi 8,49 persen, sedangkan Kredit Modal Kerja tumbuh 4,45 persen years on year (yoy). Ditinjau dari kepemilikan, kredit dari bank umum swasta nasional domestik tumbuh paling tinggi, yaitu sebesar 10,78 persen yoy.

Dari kategori debitur, kredit korporasi tumbuh sebesar 10,78 persen, sementara kredit UMKM tumbuh sebesar 2,18 persen, di tengah upaya perbankan yang berfokus pada pemulihan kualitas kredit UMKM.

"Jika dilihat berdasarkan sektor ekonomi, penyaluran kredit ke beberapa sektor tercatat tumbuh tinggi secara tahunan mencapai double digit. Sektor pertambangan dan penggalian tercatat tumbuh 20,69 persen, sektor jasa tumbuh 19,17 persen, sektor transportasi dan komunikasi tumbuh 17,94 persen, serta sektor listrik, gas dan air tumbuh 11,23 persen," ujar Dian.

Sementara itu, Dana Pihak Ketiga (DPK) tercatat tumbuh sebesar 6,96 persen yoy (Mei 2025: 4,29 persen yoy) menjadi Rp9.329 triliun, dengan giro, tabungan, dan deposito masing-masing tumbuh sebesar 10,35 persen, 6,84 persen, dan 4,19 persen yoy.

Penurunan BI Rate juga diikuti oleh penurunan suku bunga perbankan. Dibandingkan tahun sebelumnya, rerata tertimbang suku bunga kredit tercatat turun 11 bps menjadi 8,99 persen, utamanya didorong oleh penurunan suku bunga kredit produktif. Dari sisi penghimpunan dana, rerata tertimbang suku bunga DPK juga mulai menurun dibandingkan bulan lalu.

Likuiditas industri perbankan pada Juni 2025 tetap memadai, dengan rasio Alat Likuid/Non-Core Deposit (AL/NCD) dan Alat Likuid/Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) masing-masing 118,78 persen (Mei 2025: 110,33 persen) dan 27,05 persen (Mei 2025: 24,98 persen), masih di atas threshold masing-masing 50 persen dan 10 persen. Adapun Liquidity Coverage Ratio (LCR) berada di level 199,04 persen.

Sementara itu, kualitas kredit tetap terjaga dengan rasio NPL gross sebesar 2,22 persen (Mei 2025: 2,29 persen) dan NPL net 0,84 persen (Mei 2025: 0,85 persen). Loan at Risk (LaR) menurun, tercatat 9,73 persen (Mei 2025: 9,93 persen). Rasio LaR tercatat stabil seperti di level sebelum pandemi.

"Ketahanan perbankan juga tetap kuat tecermin dari permodalan (CAR) yang berada di level tinggi sebesar 25,81 persen (Mei 2025: 25,48 persen), menjadi bantalan mitigasi risiko yang kuat untuk mengantisipasi kondisi ketidakpastian global," kata Dian.

Selanjutnya, porsi kredit Buy Now Pay Later (BNPL) perbankan tercatat sebesar 0,29 persen dari total kredit perbankan dan terus mencatatkan pertumbuhan yang tinggi secara tahunan. Per Juni 2025, baki debet kredit BNPL sebagaimana dilaporkan dalam SLIK, tumbuh 29,75 persen yoy (Mei 2025: 25,41 persen yoy) menjadi Rp22,99 triliun, dengan jumlah rekening mencapai 26,96 juta (Mei 2025: 24,79 juta).

Menurut Dian, optimisme terhadap perekonomian Indonesia dan kondisi perbankan ke depan juga didukung oleh kesepakatan tarif impor AS terhadap produk Indonesia, penurunan BI Rate, percepatan belanja pemerintah, serta beberapa program pemerintah yang diyakini akan mendorong penyaluran kredit, menjaga stabilitas pangan, dan membantu daya beli masyarakat.

Pelaksanaan beberapa program pemerintah yang telah dicanangkan antara lain program Koperasi Merah Putih (KMP) yang didukung oleh dana pemerintah, tiga juta perumahan, serta Makan Bergizi Gratis (MBG), dapat dimanfaatkan oleh bank sebagai kesempatan pengembangan usaha termasuk dalam rangka pertumbuhan kredit/pembiayaan.

Penjaminan Simpanan

Dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dan utuk tuerut serta menjaga stabilitas perbankan, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memiliki tugas besar dalam menjamin semua simpanan masyarakat di perbankan.

Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Didik Madiyono menekankan, masyarakat tidak perlu khawatir jika terjadi insiden perbankan yang bangkrut dan ditutup.

Untuk menjamin simpanan, aset LPS diyakini mampu menjamin tabungan masyarakat Indonesia. "Yang paling aman memang menabung di bank. Menabung di bank sudah aman, dijamin LPS lagi. Pertanyaannya dari teman-teman semua, memang LPS mampu menjamin simpanan? LPS kaya, asetnya Rp250 triliun. Kalau jamin simpanan bapak, adik-adik semua, mampulah. Setiap tahun bisa nambah Rp 25 triliun sampai Rp 30 triliun," kata dia dalam LPS Financial Festival 2025 beberapa waktu lalu.

Sebagai contoh, kasus yang baru saja terjadi pada PT Bank Perekonomian Rakyat (BPR) Bank Pasar Bhakti di Kelurahan Celep, Kecamatan Sidoarjo yang baru saja dicabut izin usahanya oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ia meyakini dalam lima hari, simpanan masyarakat bisa dicairkan dari LPS.

Perilaku Menabung Masyarakat

LPS mencatat Indeks Menabung Konsumen (IMK) pada Juli 2025 berada di level 82,2, melemah terbatas sebesar 1,6 poin dari posisi bulan sebelumnya.

Hal ini sejalan dengan pelemahan komponen Indeks Waktu Menabung (IWM) sebesar 4,7 poin pada periode yang sama ke level 90,5. Sementara itu, komponen Indeks Intensitas Menabung (IIM) tercatat naik sebesar 1,4 poin ke level 73,8.

Terkait dengan komponen IIM, porsi responden yang menyatakan tidak pernah menabung menurun dari 26,7 persen pada Juni 2025 menjadi 24,9 persen di bulan Juli 2025.

Di periode yang sama, porsi responden yang menilai bahwa jumlah yang ditabung lebih kecil dari yang direncanakan mengalami penurunan dari 52,5 persen menjadi 50 persen.

Mengenai komponen IWM, persentase responden yang menilai bahwa saat ini adalah waktu yang tepat untuk menabung tercatat sedikit menurun menjadi 26,4 persen pada Juli 2025, dari 28,9 persen pada Juni 2025.

Di samping itu, persentase responden yang menyatakan bahwa tiga bulan mendatang merupakan waktu yang tepat untuk menabung pun tercatat menurun, yaitu menjadi 38,6 persen dari 42,6 persen pada periode yang sama.

“Perkembangan ini mencerminkan intensitas dan niat menabung konsumen yang melandai seiring dengan meningkatnya pengeluaran rumah tangga untuk pendidikan pada awal tahun ajaran baru, di tengah pemberian stimulus ekonomi dalam jangka pendek,” ujar Direktur Group Riset LPS, Seto Wardono.

LPS juga mengungkap tabungan orang di atas Rp5 miliar melonjak tajam. Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan pertumbuhannya mencapai 9,45 persen per Juli 2025.

Purbaya mengungkap, kenaikan tabungan di atas Rp5 miliar itu disebabkan banyak perusahaan yang menahan uangnya di perbankan sembari menunggu waktu untuk memperluas usahanya.

"Jadi ini indikasi bahwa mereka masih mengumpulkan uangnya di sana (perbankan) untuk siap-siap ekspansi nanti. Belum ekspansi penuh, tetapi nggak lama lagi kalau membaik mungkin mereka akan mulai ekspansi bisnisnya lagi," terangnya.

Sementara tabungan orang di bawah Rp100 juta pertumbuhannya sedikit. Purbaya mengungkap per Juli 2025, pertumbuhan tabungan di bawah Rp 100 juta 4,76 persen.

"Cuma kalau kita lihat sebetulnya dibanding awal tahun yang di bawah Rp 100 juta sudah ada tanda-tanda perbaikan. Di April 4,29 persen, Mei 3,75 persen, Juni 4,89 persen, sekarang 4,76 persen. Walaupun masih di bawah 5 persen, tetapi sudah ada tanda-tanda perbaikan kelihatannya yang di bawah Rp 100 juta," jelas Purbaya.

Dari Tabungan ke Investasi Produktif

Di balik setiap keputusan individu untuk menyisihkan sebagian pendapatan dan menyimpannya di rekening tabungan, tersimpan peran krusial dalam perekonomian nasional. Menabung, yang selama ini dianggap sebagai kebiasaan personal, ternyata menyimpan potensi besar sebagai pendorong stabilitas dan pertumbuhan ekonomi sebuah negara.

Fenomena ini tidak hanya berlaku di negara-negara maju. Di Indonesia, peningkatan kesadaran menabung mulai menunjukkan korelasi yang kuat terhadap ketahanan ekonomi domestik. Dalam konteks ekonomi makro, kebiasaan menabung—baik oleh rumah tangga maupun sektor usaha—mampu memperkuat struktur pembiayaan nasional melalui peningkatan dana pihak ketiga (DPK) di sektor perbankan.

Salah satu ciri negara dengan struktur ekonomi yang kuat adalah tingkat ketergantungannya yang rendah terhadap pembiayaan eksternal. Ketika tingkat tabungan nasional tinggi, kebutuhan akan utang luar negeri otomatis menurun. Dana tabungan yang terkumpul melalui sistem perbankan akan dialirkan kembali ke sektor produktif dalam bentuk kredit, investasi, atau pembiayaan proyek strategis.

Tabungan masyarakat merupakan motor pendukung pembiayaan jangka panjang bagi pembangunan nasional. Dari sisi stabilitas, ini lebih aman ketimbang pembiayaan eksternal yang rentan terhadap volatilitas global.

Ketika seseorang menabung di bank, dana tersebut tidak hanya ‘diam’ di rekening. Lembaga keuangan akan menyalurkan dana simpanan masyarakat dalam bentuk kredit produktif — misalnya untuk modal UMKM, pembiayaan infrastruktur hingga investasi di sektor manufaktur. Inilah yang disebut fungsi intermediasi perbankan: menyalurkan dana dari pihak yang surplus (penabung) ke pihak yang membutuhkan dana (investor/usaha).

"Semakin tinggi tingkat tabungan masyarakat, makin besar pula dana yang tersedia untuk pembiayaan sektor produktif," jelas Dr. Hendro Wijanarko, ekonom Universitas Indonesia. Ia menambahkan, tabungan masyarakat adalah salah satu sumber pembiayaan domestik yang penting agar Indonesia tidak selalu bergantung pada utang luar negeri.

Bank Indonesia mencatat, tingkat tabungan rumah tangga Indonesia pada tahun 2025 mengalami peningkatan sebesar 8,7 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan ini dipicu oleh kesadaran finansial yang lebih tinggi pascapandemi, serta kampanye inklusi keuangan yang gencar dilakukan oleh pemerintah.

Namun tantangan tetap ada. Di daerah pedesaan dan terpencil, masih banyak masyarakat yang belum memiliki akses ke layanan perbankan formal. Di sinilah pentingnya peran bank digital, koperasi, dan fintech dalam menjembatani kesenjangan inklusi keuangan.

Lebih dari sekadar kebiasaan keuangan pribadi, menabung adalah bagian dari kontribusi individu terhadap pembangunan ekonomi bangsa. Ia mencerminkan tanggung jawab finansial, kemandirian, dan kesiapan menghadapi risiko ekonomi.

Dalam dunia yang makin tidak pasti, negara memerlukan cadangan stabil yang berasal dari kekuatan domestik. Dan kekuatan itu, bisa berawal dari keputusan kecil untuk menabung—sebuah tindakan sederhana, dengan dampak ekonomi yang luar biasa.

Dengan meningkatnya Dana Pihak Ketiga (DPK) atau simpanan masyarakat di sistem perbankan, tentunya akan memperkokoh dan memberikan kestabilan dalam industri perbankan.

Dengan menjaga stabilitas perbankan, Indonesia diyakini mampu memperkuat ketahanan ekonominya serta mempercepat pencapaian target pertumbuhan ekonomi nasional yang ditetapkan sebesar 5,4 persen pada 2025. (*)