Oleh: Suwardi (Pranata Humas Madya Kementerian PANRB)
Ketersediaan rajungan dan kepiting bakau alam semakin mengecil akibat konsumsi manusia. Upaya Eddy Nurcahyono dalam menyediakan benih keduanya patut diacungi jempol.
Pernahkah Anda sempat berpikir ketika makan rajungan dan kepiting bakau nan lezat? Bukan soal mengolahnya, tapi bagaimana dua hewan bercapit itu tetap lestari di saat penggemarnya terus bertambah. Alam memang menyediakan tetapi tetap saja kalau dieksploitasi berlebihan keduanya bakal musnah tak bersisa.
Beruntung kita memiliki Eddy Nurcahyono. Aparatur Sipil Negara (ASN) di Departemen Kelautan dan Perikanan dan bertugas sebagai pengawas perikanan pertama di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara punya rekam jejak panjang sebagai pelestari rajungan dan kepiting bakau. Sejak 2005, pascalulus dari Akademi Perikanan Sidoarjo (sekarang Politeknik Kelautan dan Perikanan Sidoarjo) – sekolah kedinasan di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan – ia langsung mengawali karirnya di UPT Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Takalar Sulawesi Selatan sebagai calon pengawas budidaya.
Di tempat tersebut, Eddy mendapat penugasan dari Kepala BBAP Takalar sebagai staf teknis pada kelompok kerja pengembangan rekayasa teknologi pembenihan kepiting bakau dan rajungan. Tak perlu waktu lama, setahun berikutnya, yakni 2006 bersama dengan tim kelompok kerja, ia berhasil mengembangkan paket teknologi pembenihan kepiting bakau dan rajungan secara massal.
Sebagai komoditas ekspor hasil perikanan, rajungan dan kepiting masuk dalam kategori tiga besar ekspor di bawah udang dan ikan tuna. Catatan dari KKP pada periode 2012-2017, ekspor rajungan dan kepiting mengalami kenaikan 6,14%. Sementara data dari APRI (Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia) nilai ekspor rajungan saja mencapai USD308 juta tahun 2017. Angka itu diperkirakan melonjak menjadi USD400 juta tahun 2018. Dari ekspor rajungan tersebut, 90% mengisi pasar Amerika Serikat. Tentu saja, bila hanya mengandalkan tangkapan alam, tentu kenaikan produksi sangat bergantung banyak hal. Inovasi melalui teknologi pembenihan dan budidaya menjadi sebuah terobosan menarik.
Budidaya Berkelanjutan
Pada tahun 2007, Eddy ditunjuk menjadi ketua atau koordinator kelompok kerja teknologi pembenihan rajungan (portunus pelagicus), kepiting bakau (scylla spp), dan budidaya kepiting bakau dan rajungan di tambak. Kalau di alam, kepiting bakau biasanya hidup di lumpur mangrove dan dapat hidup sampai kedalaman 30 meter. Sedangkan rajungan kerap disebut sebagai blue swimmer crab atau si kepiting berenang hanya dapat hidup di air laut dan bergerak hingga kedalaman 60 meter.
Penggemar kedua komoditas ini cukup tinggi sehingga inovasi pada teknologi pembenihan dan budidaya dapat berperan besar pada kelestariannya. Terobosan Eddy dan timnya di Takalar menjadi sesuatu yang inspiratif karena pola pikir masyarakat nelayan bisa berubah bahwa rajungan dan kepiting bakau tidak hanya dapat ditangkap di alam tetapi bisa pula dibudidayakan di tambak.
Teknologi pembenihan kepiting bakau dan rajungan secara sederhana meliputi: pertama, menyiapkan pencucian dan sterilisasi sarana dan prasarana pembenihan. Kedua, seleksi dan pemeliharaan induk. Pada kegiatan ini faktor lingkungan dan nutrisi menentukan. Lingkungan direkayasa dengan menggunakan sistem resirkulasi (RAS) atau flow throw dan nutrisi dengan uji coba beberapa pakan sehingga diperoleh pakan yang sesuai yaitu, kerang dan cumi dengan perbandingan 60:40 dengan dosis 10-15 % dari berat induk. Pengamatan kesehatan induk dilakukan tiap hari.
Ketiga, kultur pakan alami menggunakan plankton, baik fitoplankton maupun zooplankton. Fitoplankton jenis chlorella dan zooplankton meliputi rotifera dan artemia. Keempat pemeliharaan larva. Ada tiga tahapan larva yaitu zoea, megalopa, dan crablet. Untuk zoea dipelihara dalam wadah volume kecil untuk memudahkan pengamatan karena rentan bakteri dan jamur, juga untuk penyediaan pakan alami yang tepat. Rotifera diberikan dengan kepadatan 15 ekor/ml dan Artemia 3 ekor/ml. Frekuensi pemberian pakan pada stadium zoea 6 kali sehari atau setiap 4 jam sekali dengan pemberian berselang antara rotifera, artemia dan pakan buatan.
Setelah 10 hari untuk rajungan dan 18 hari untuk kepiting bakau, larva akan berubah menjadi stadia megalopa. Pada tahap ini, media pemeliharaan harus lebih luas maka dipindahkan ke bak dengan volume yang lebih besar dan diberi shelter dari waring atau daun kelapa. Fungsi shelter sebagai tempat menempel untuk mengurangi kematian akibat kanibalisme. Pakan yang diberikan Artemia dan pakan buatan dengan frekuensi 6 kali sehari. Setelah 5-7 hari akan berubah menjadi stadia crablet dan pakan yang diberikan adalah pelet dan ikan rucah yang dihaluskan. Setelah 10 hari, benih kepiting siap dibudidayakan di tambak atau untuk restocking.
Teknologi pembenihan tersebut membuat restocking benih untuk menambah populasi rajungan dan kepiting bakau di habitatnya semakin meningkat. Di samping itu, dengan keberhasilan pembenihan dan budidaya tersebut, pemangku kepentingan dapat belajar dari hal tersebut. “Karena keberhasilan tersebut saya juga menjadi narasumber pada pelatihan teknis atau magang teknis dari masyarakat, pemangku kepentingan di dalam dan luar negeri,” kata bapak dua anak asli Blitar yang menamatkan sarjana bidang budidaya perikanan pada Universitas Muslim Makasar tersebut.
Kegiatan penambahan stok populasi rajungan dan kepiting bakau dilakukan Eddy dan tim seperti restocking benih rajungan di pulau Panjang Galesong Takalar tahun 2005-2011, restocking benih rajungan 100 ribu ekor bersama APRI di teluk Laikang Takalar tahun 2011, restocking benih rajungan ke sejuta ekor di Makasar bersama Menteri KKP pada tahun 2013, restocking benih rajungan ke dua juta ekor di Pantai Boddia bersama Wakil Presiden RI pada tahun 2015.
Jejak Eddy tak hanya di Sulawesi. Pada 2016, ia dipindahtugaskan ke Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai pengawas perikanan pertama bidang pembudidayaan ikan. Kemudian ia mendapat penugasan dari kepala BBPBAP Jepara untuk melanjutkan kegiatan pengembangan teknologi budidaya kepiting bakau dan rajungan sebagai ketua kelompok kerja produksi benih kepiting bakau dan rajungan.
Hasilnya pun langsung terlihat. Pada 2016, dilakukan restocking benih rajungan 200 ribu ekor di Pulau Panjang Jepara Jawa Tengah; serta ribuan benih rajungan dan kepiting bakau di Semarang. Pada 2017, 100 ribu benih kepiting bakau dan 100 ribu benih rajungan disebar di perairan Jepara.
Artinya, sekitar sepuluh tahun sudah jutaan benih rajungan dan kepiting bakau lahir dari tangan dingin Eddy. Benih rajungan dan kepiting bakau ini disebar kembali sebagai restocking di wilayah-wilayah yang menjadi habitat kedua hewan tersebut. Sebagian bibit lainnya dibudidayakan di area tambak payau sehingga dapat menjadi alternatif menarik bagi nelayan yang ingin membudidayakannya di area tambak.
Keberhasilan Eddy itu tentu tidak saja karena kemampuannya tetapi juga berkat kerjasama pengembangan teknologi budidaya yang melibatkan sejumlah pembudidaya, dinas perikanan hingga perusahaan atau asosiasi. Sejumlah pihak sudah diajak kerjasama seperti kelompok pembudidaya ikan di Demak, Pati, hingga Brebes, Jawa Tengah.
Di Kalimantan, Eddy menjalin kerjasama dengan Koperasi Produsen Nelayan Kaltara di Tarakan, Balikpapan, dan Takalar, Sulawesi Selatan. Asosiasi yang menjadi mitra adalah APRI dan Asosiasi Kepiting Soka Indonesia (AKSI) yang berpusat di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Keberhasilan Eddy dan tim mengembangkan teknologi pembenihan rajungan dan kepiting bakau serta budidayanya di tambak jelas mendapat respon positif dari dinas perikanan dan lembaga terkait dari dalam dan luar negeri. Sejumlah dinas perikanan menjadikan Eddy sebagai narasumber pelatihan seperti dinas perikanan Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Bangka Barat, Bangka Belitung, hingga Tanjung Pinang.
Sedangkan dari luar negeri ia diundang The Philippines Bureau of Fisheries and Aquatic Resources (BFAR) and The Philippine Association of Crab Processors, Inc. (PACPI). Aparatur perikanan pemerintah Sri Lanka mengirimkan perwakilannya untuk menjadi pembudidaya dan Eddy menjadi mentor magangnya.
Pembudidayaan rajungan dan kepiting bakau ini menjadi salah satu alternatif untuk terus memperoleh produksi meskipun pada musim kemarau di saat salinitas (kadar garam) tinggi. Tak heran, dengan banyaknya pemangku kepentingan yang dapat dijangkau oleh hasil inovasi teknologi yang dikembangkan Eddy, ia pun pernah menyabet gelar sebagai pegawai teladan di lingkup Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya pada 2008.
Baginya, capit rajungan dan kepiting bakau budidaya itu adalah bukti karya loyalitas dan totalitas tanpa batas. (*)
Nama : Eddy Nurcahyono, S.Pi
Tempat, Tanggal Lahir : Blitar, 18 Desember 1982
Pendidikan : D-III Akademi Perikanan Sidoarjo (Politeknik Kelautan dan Perikanan Sidoarjo), S-1 Budidaya Perairan Universitas Muslim Indonesia, Makassar
Jabatan : Pengawas Perikanan Pertama Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara