Delegasi Kementerian PANRB saat mengunjungi Be.Lab, di Auckland, Selandia Baru, beberapa waktu yang lalu.
AUCKLAND - Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) mengunjungi Be.Lab sebagai salah satu organisasi sosial yang dilibatkan secara aktif oleh Pemerintah Selandia Baru. Ada banyak yang dibahas dalam pertemuan itu, salah satunya yaitu terkait pemberian layanan publik yang aksesibel bagi setiap lapisan masyarakat termasuk kelompok rentan.
“Tujuan kunjungan kami pada hari ini adalah untuk mengetahui pola multistakeholder partnership yang tepat untuk mendorong aksesibilitas dalam penyediaan pelayanan publik di Indonesia, dan kami percaya Be.Lab merupakan aktor yang tepat untuk menjelaskan hal tersebut dari berbagai pengalaman dan proyek yang sudah pernah dijalankan," ujar Plt. Asisten Deputi Standarisasi Pelayanan dan Pelayanan Publik Inklusif Kementerian Noviana Andrina saat mengunjungi Be.Lab, di Auckland, Selandia Baru, beberapa waktu yang lalu.
Untuk diketahui, Be.Lab memiliki visi menjadikan Selandia Baru sebagai negara paling aksesibel di dunia melalui kerja sama dengan multistakeholder dalam perwujudannya termasuk pemerintah Selandia Baru. Sementara di Indonesia, Undang-Undang No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik mengamanatkan bahwa pelayanan publik yang diberikan oleh Pemerintah harus adil dan tidak diskriminatif.
"Untuk memenuhi amanat tersebut maka pelayanan publik harus aksesibel kepada setiap kelompok masyarakat termasuk kelompok rentan yaitu kelompok penyandang disabilitas, ibu hamil, anak-anak, lansia, dan orang-orang yang terdampak bencana alam dan bencana sosial," ungkap Noviana.
Berdasarkan diskusi yang berjalan, diketahui bahwa salah satu kunci utama dari penciptaan pelayanan publik aksesibel adalah dengan menciptakan kesadaran kepada semua pihak bahwa pelayanan publik yang aksesibel, akan memberikan dampak positif kepada setiap kelompok masyarakat tidak hanya kelompok tertentu saja. Untuk itu, Be.Lab menggunakan istilah “Access Citizen” dalam setiap pengembangan program dan proyeknya, karena istilah tersebut lebih merepresentasikam semua kelompok.
Ketua Divisi Leadership & Culture Be.Lab Lesley Lade mengatakan, melalui penggunaan istilah "Access Citizen", berbagai program yang dikembangkan bisa lebih menyentuh berbagai pihak, tidak hanya kelompok tertentu pada waktu tertentu. Di Selandia Baru, satu dari empat orang merupakan kelompok disabilitas.
Namun angka tersebut belum termasuk kelompok diversitas, orang-orang dengan cedera sementara seperti misalnya patah tulang, orang-orang yang memiliki masalah kesehatan jangka panjang, dan lainnya. "Berbagai kelompok tersebut mungkin tidak termasuk ke dalam kelompok rentan, tetapi bagi mereka pada satu waktu dalam kehidupannya akses terhadap pelayanan publik dapat menjadi sulit jika pelayanan tersebut tidak aksesibel," tutur Lesley Lade.
Untuk itu, penyesuaian istilah menjadi menjadi “Access Citizen” diharapkan dapat membuat strategi kebijakan dan program yang dibuat menjadi lebih holistik, sehingga output dan outcome program akan menjadi lebih optimal.
Senada dengan Lesley, Asisten Deputi Pemberdayaan Partisipasi Masyarakat Kementerian PANRB Insan Fahmi sepakat bahwa pendekatan interseksional dalam menciptakan pelayanan publik yang aksesibel sangat diperlukan. "Karena melalui pendekatan ini output dan outcome yang didapatkan akan lebih sesuai dengan kebutuhan dari kelompok masyarakat yang beragam,” tandas Insan.
Hasil dari diskusi ini memberikan sudut pandang baru dalam pengembangan kebijakan pelayanan publik yang aksesibel di Indonesia. Diharapkan, kedepan strategi yang akan diciptakan Pemerintah Indonesia melalui Kementerian PANRB dapat memberikan dampak positif, seperti yang sudah dilakukan oleh Be.Lab dan Pemerintah Selandia Baru. (fik/HUMAS MENPANRB)