Delegasi Kementerian PANRB saat kunjungan ke University of Auckland, Jakarta, Kamis (09/11).
AUCKLAND – Setelah berkunjung ke Be.Lab untuk mempelajari pola multi-stakeholder partnership dalam mewujudkan pelayanan publik yang aksesibel bagi seluruh lapisan masyarakat, delegasi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) bertolak ke University of Auckland. Di sini, Plt. Asisten Deputi Standarisasi Pelayanan Publik Kementerian PANRB Noviana Andrina menilik Ratonga Hauātanga Tauira dan belajar terkait penyediaan pelayanan bagi kelompok rentan, khususnya bagi mahasiswa disabilitas.
"Aksesibilitas dalam pelayanan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi di University of Auckland melalui Ratonga Hauātanga Tauira menjadi contoh implementasi yang sangat baik yang dapat ditiru dan diterapkan oleh kampus-kampus yang ada di Indonesia agar tidak ada diskriminasi pelayanan bagi mahasiswa disabilitas," ungkap Noviana saat berkunjung ke University of Auckland, Selandia Baru, Kamis (09/11).
Ratonga Hauātanga Tauira atau Student Disability Services (SDS) menyediakan fasilitas dan sarana prasarana yang aksesibel bagi mahasiswa disabilitas. Disability Support Coordinator University of Auckland Sophia Pattiwael menjelaskan bahwa hadirnya pusat layanan khusus bagi mahasiswa disabilitas ini agar mereka yang berkebutuhan khusus tetap mendapatkan pelayanan yang setara.
“Pusat Layanan ini memiliki tujuan untuk menciptakan lingkungan belajar mengajar yang aman, inklusif, dan setara bagi mahasiswa dengan disabilitas di University of Auckland," jelas Sophia.
Implementasi layanan inklusif tersebut diimplementasikan antara lain dengan penyediaan student lounge yang cukup luas dan dilengkapi dengan pintu otomatis, jalan landai dan bebas hambatan, alat pemanas makanan (microwave) yang ditempatkan dengan ketinggian terjangkau bagi pengguna kursi roda, serta tombol darurat yang tersedia di toilet. Lebih lanjut, Sophia mengatakan bahwa student lounge ini, begitu pula dengan kafetaria, ruang kuliah, dan fasilitas lainnya didesain secara khusus untuk memberikan akses seluas-luasnya bagi penyandang disabilitas, khususnya pengguna kursi roda. Selain itu, tersedia juga program beasiswa serta dukungan karier dan dunia kerja bagi mahasiswa disabilitas.
Kendati telah menyediakan ragam fasilitas yang mumpuni tersebut, Sophia menyampaikan bahwa masih terdapat kekurangan dalam penyediaan layanan ramah disabilitas tersebut. Kekurangan ini disebabkan oleh beberapa bangunan di kompleks University of Auckland, khususnya gedung-gedung sudah berusia cukup tua, belum dapat dilakukan pemasangan jalur landai.
Upaya untuk menghadirkan lingkungan yang aksesibel bagi seluruh mahasiswa juga memiliki tantangannya tersendiri. Sophia menuturkan, pihak kampus belum tentu bisa mengakomodir pemberian layanan kepada semua mahasiswa disabilitas, terlebih jika terdapat mahasiswa enggan menyampaikan secara terbuka jenis disabilitasnya dengan alasan karena hal tersebut dianggap sebagai privasi.
Untuk mengatasi hal tersebut, pihak universitas melakukan pendekatan personal kepada mahasiswa penyandang disabilitas, misalnya dengan membuat janji temu pribadi atau komunikasi melalui email dan menawarkan dukungan yang diperlukan oleh mahasiswa disabilitas.
Hal ini disebabkan karena terdapat jenis disabilitas yang terlihat (visible) seperti pengguna kursi roda, dan disabilitas yang tidak terlihat (invisible) seperti gangguan pendengaran (hearing impaired), disabilitas mental, dan disabilitas neurodivergent, seperti autis dan dyslexia. “Kami memberikan berbagai dukungan sesuai dengan ragam disabilitas yang teridentifikasi, seperti kondisi spesial untuk ujian tertulis bagi disabilitas netra, kondisi khusus bagi neurodivergent, dan sebagainya, dan tentu saja mahasiswa harus bersedia menyampaikan hambatan disabilitasnya sehingga kami dapat mengidentifikasi dukungan seperti apa yang cocok untuk mereka," tutur Sophia.
Sophia lanjut menjelaskan bahwa dalam pelayanan bagi disabilitas juga perlu memperhatikan situasi tanggap darurat dan kebencanaan. Ratonga Hauātanga Tauira memiliki strategi untuk penanganan mahasiswa disabilitas dalam situasi gawat darurat dan kebencanaan, yang disebut dengan Personal Emergency Evacuation Plan (PEEP).
Perencanaan adalah kunci penting untuk menghadapi situasi gawat darurat. Oleh karena itu, pihak universitas mendampingi para mahasiswa disabilitas untuk menyusun perencanaan yang sesuai dengan ragam hambatannya dan kemungkinan penyesuaian yang diperlukan untuk menghadapi situasi gawat darurat.
Menanggapi penjelasan tersebut, Asisten Deputi Pemberdayaan Partisipasi Masyarakat Kementerian PANRB Insan Fahmi menyampaikan bahwa penyediaan layanan oleh University of Auckland melalui Ratonga Hauātanga Tauira sangat komprehensif dan cermat dalam memenuhi kebutuhan akan seluruh mahasiswanya.
"University of Auckland telah memberikan contoh bagaimana menyediakan pelayanan yang aman inklusif, khususnya bagi mahasiswa disabilitas. Semoga praktik baik ini dapat segera diimplementasikan oleh berbagai perguruan tinggi di Indonesia, bahkan di seluruh unit penyelenggara pelayanan publik," pungkas Insan. (ald/HUMAS MENPANRB)