JAKARTA – Pada awal tahun 2019, di Kabupaten Kediri muncul hama ulat grayak spesies baru, yaitu Spodoptera frugiperda, dengan daya jangkau persebaran hama hingga 100 km/malam. Penanggulangan hama ulat grayak yang menyerang tanaman jagung ini telah dilakukan dengan menggunakan beberapa jenis pestisida kimia, namun gagal mengurangi tingkat serangan.
Kegagalan tersebut mendorong Kabupaten Kediri untuk melahirkan inovasi berupa penggunaan agen hayati metarhizium sebagai pengganti pestisida kimia. Penggunaan metarhizium untuk pengendalian ulat grayak Spodoptera frugiperda, pertama kali dilakukan oleh Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Kediri, karena belum pernah digunakan dalam pengendalian hama ulat grayak Spodoptera Frugiperda di Jawa Timur, bahkan mungkin di Indonesia.
“Saat pestisida kimia gagal mengendalikan hama ini, kami menyadari bahwa penggunaan bahan kimia, bukan satu-satunya solusi utama penanganan pertanian,” ujar Bupati Kediri Haryanti Sutrisno dalam presentasi dan wawancara Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik 2020 secara virtual, beberapa waktu lalu.
Metarhizium adalah salah satu jenis jamur agen pengendali hayati (musuh alami) yang berasal dari hama dan penyakit yang dilemahkan. Beberapa kelebihan dari penggunaan agen hayati Metarhizium, antara lain, selektivitasnya tinggi dan tidak menimbulkan ledakan hama baru, agen hayati bersifat parasitoid dapat menyebar, dan pengendalian dapat berjalan dengan sendirinya.
Dijelaskan bahwa tujuan utama dari inovasi Metarhizium: Mengamankan Pangan untuk Negeri adalah mengamankan produksi jagung di Kabupaten Kediri. “Inovasi ini menjadi upaya Pemkab Kediri, dalam menyelamatkan produksi jagung petani dari gagal panen karena serangan hama,” imbuhnya.
Senada dengan Haryanti, Plt. Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Kediri Anang Widodo menyatakan bahwa inovasi ini dapat menyelamatkan produksi tanaman jagung dari gagal panen, rata-rata 6,72 ton/hektare atau penyelamatan pendapatan petani rata-rata Rp15.456.000/hektare. Pemanfaatan Metarhizium juga dapat menekan biaya produksi petani.
“Biaya penggunaan pestisida kimia rata-rata Rp2.786.000/hektare, sedangkan dengan metarhizium Rp200.000/hektare, sehingga inovasi ini menumbuhkan kemandirian petani dalam upaya pengendalian hama,” ungkapnya.
Pemanfaatan Metarhizium sebagai pestisida alami bukanlah barang baru. Anang menyatakan sejak tahun 1985, agen hayati ini telah digunakan untuk mengatasi hama pada tanaman padi, namun belum pernah dilakukan sebelumnya pada tanaman jagung.
Menurut Anang, agen hayati yang digunakan untuk jagung adalah Metarhizium rileyi pengembangan dari Metarhizium pada padi setelah melalui serangkaian uji coba dan penelitian. Pemerintah Kabupaten Kediri berharap inovasi Metarhizium: Mengamankan Pangan untuk Negeri dapat menjadi solusi pertanian berkelanjutan.
Sejak tahun 2020, Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Kediri juga mencoba memanfaatkan metarhizium pada tanaman cabai untuk pengendalian hama kutu kebul/Aphid penyebab virus kuning. “Tidak hanya di Kediri, semoga inovasi ini bisa bermanfaat bagi Indonesia,” tutupnya. (rum/HUMAS MENPANRB)