JAKARTA – Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2013 mencatat angka kemiskinan di Kabupaten Hulu Sungai Selatan mencapai 6,67 persen dari jumlah penduduknya. Angka tersebut lebih tinggi dari Provinsi Kalimantan Selatan yakni 4,76 persen dan menempatkan kabupaten itu berada di urutan kedua dengan angka kemiskinan tertinggi di kawasan Banua Anam.
Berdasarkan identifikasi terhadap keluarga miskin tersebut, 15.233 jiwa menempati 5.052 rumah tidak layak huni, yang tidak memenuhi syarat kesehatan, keamanan, dan sosial. Keluarga miskin tersebut juga tidak cukup pangan untuk dikonsumsi sehari-hari, serta tidak memiliki jaminan kesehatan dan kecukupan pendapatan untuk menunjang kehidupan. Untuk mengatasi hal tersebut, sejak 2014 Dinas Sosial Kabupaten Hulu Sungai Selatan menghadirkan inovasi Program Rumah Sejahtera (PRS).
“Inovasi ini berdampak positif terhadap keluarga miskin di Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Data tahun 2014 sampai 2018, sudah terbangun rumah layak huni sebanyak 3.457 unit dengan dana Rp49,28 miliar, belum termasuk melalui pola komunal dalam komunitas dari Kementerian Sosial dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Dinas PPKPLH dan Dinas PUPR sebanyak 3.500 unit,” ujar Bupati Hulu Sungai Selatan Achmad Fikry dalam presentasi dan wawancara Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik Tahun 2020, secara virtual beberapa pekan lalu.
Mendukung PRS, terdapat komplementaritas program yang ditujukan kepada keluarga miskin yang menempati rumah tidak layak huni tersebut. Keempatnya adalah program beras sejahtera daerah, program jaminan hidup bagi lansia dan anak yatim, program jaminan kesehatan gratis daerah, dan program bantuan modal usaha.
"Komplementaritas ini menjadi upaya pemerintah untuk mengurangi pengeluaran keluarga miskin dan meningkatkan pendapatannya sehingga berkontribusi positif bagi pengentasan kemiskinan di Hulu Sungai Selatan," imbuhnya.
Selama lima tahun pelaksanaannya, data BPS menyebutkan angka kemiskinan turun signifikan di Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Data pada 2013 menunjukkan angka kemiskinan 6,67 persen, namun kini di tahun 2018 sudah turun menjadi 5,20 persen. Hal ini menunjukkan pentingnya inovasi yang komprehensif sesuai kondisi dan kebutuhan daerah dalam mengentaskan kemiskinan.
Inovasi ini berpotensi untuk diterapkan di wilayah lain. Beberapa daerah telah mereplikasi sebagian dari inovasi dalam jumlah terbatas. Balangan mereplikasi rumah tidak layak huni, Kota Banjarbaru dan Kabupaten Tabalong mereplikasi program beras sejahtera daerah, serta Kabupaten Tapin dan Barito Kuala yang melakukan studi tiru. (nan/HUMAS MENPANRB)