JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat sepanjang 2016 telah menerima sebanyak 301.786 Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Laporan itu meliputi berbagai jenis instansi, mulai dari eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif mengemukakan, jumlah 301.786 LHKPN itu berasal dari 244.357 atau 76,7% wajib lapor tingkat eksekutif, 13.960 atau 30,1% wajib lapor di tingkat legislatif, 15.086 atau 90,5% wajib lapor di tingkat yudikatif. “Sisanya 28.383 atau 82 persen wajib lapor BUMN/BUMD,” kata Syarif dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (9/1) siang.
Menanggapi hal itu, Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung mengatakan, jika mau berjalan dengan baik, maka LHKPN itu memang harus terintegrasi dengan apa yang dilakukan dengan Aparatur Sipil Negara (ASN).
“Seseorang yang akan naik pangkat dan seterusnya, harus diwajibkan untuk melaporkan LHKPN dan itu bagian yang terintegrasikan. Kalau di eselon 1 ini sudah berjalan dengan baik. Memang di eselon 2, 3, dan 4 ini belum semuanya melaporkan LHKPN dengan baik,” jelas Pramono kepada wartawan, di ruang kerjanya lantai 2 Gedung III Kemensetneg, Jakarta, Senin (9/1) sore.
Tetapi apapun, lanjut Seskab, pemerintah memberikan dorongan kepada KPK untuk kalau perlu mengumumkan secara terbuka bagi siapapun yang belum melaporkan LHKPN.
Selain itu juga, diingatkan Seskab, bahwa atasan yang bersangkutan mempunyai kewenangan untuk melakukan teguran. “Kalau perlu dikaitkan dengan tunkin, tunjangan kinerja. Supaya seseorang yang tidak melaporkan LHKPN tidak mendapatkan tunkin, sebagai contoh,” tegas Pramono.
Seskab mengingatkan, apapun harus ada reward and punishment. Sehingga dengan demikian, seseorang yang sudah menyerahkan LHKPN tentunya harus ada juga yang menjadi benefit bagi yang bersangkutan. “Jangan yang melaporkan dan yang tidak melaporkan sama saja, begitu,” pungkasnya. (arl/HUMAS MENPANRB/Setkab)