JAKARTA – Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) masih mendapat stigma buruk dari masyarakat, dianggap mengganggu, dan kerap dikriminalisasi. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, punya cara tersendiri untuk mengentaskan masalah ODGJ, yakni menciptakan inovasi Terapi Okupasi dan Pemberdayaan Orang Dengan Gangguan Jiwa (Teropong Jiwa). Dengan inovasi ini, setiap ODGJ yang sudah dipastikan sembuh, diberikan keterampilan dan pelatihan.
Teropong Jiwa juga memungkinkan ODGJ yang sudah sembuh disalurkan kepada pengusaha asuh, keluarga asuh, atau orang yang peduli dengan mereka. Pengusaha asuh terbagi dalam jenis usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) produksi kue khas Banyuwangi, produksi tahu, kerupuk, dan keripik. Sedangkan keluarga asuh terbagi dalam sektor pertanian dan kesenian.
“Harapannya, dari rangsangan kreativitas ini akan mengembalikan akal sehat dan semangat kerja. Sebagai reward, saat pelatihan yang menunjukan hasil terbagus maka akan mendapatkan seperangkat alat mandi,” ujar Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi Widji Lestariono dalam kegiatan Presentasi dan Wawancara Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (KIPP) Tahun 2020 secara virtual, beberapa waktu lalu.
Dalam pelaksanaan inovasi, dibentuk Tim Kembali Sehat (Kesat) yang terdiri dari seorang dokter, koordinator progam jiwa, bidan dan kader kesehatan Jiwa, yang diwadahi melalui grup WhatsApp Sehat Jiwa untuk koordinasi. Tim Kesat sudah mendapatkan pelatihan tentang penaganan ODGJ oleh tenaga ahli dari Dinas Kesehatan Banyuwangi. Tim tersebut bertugas mengkondisikan pelayanan dan antar jemput ODGJ ke Poli Kesat. Sedangkan untuk terapis dilakukan oleh tenaga dokter, dan untuk instruktur pelatihan, dipandu langsung oleh Kader Kesehatan Jiwa.
Poli Kesat menekankan pelatihan bagi penderita yang waras atau sudah stabil setelah pengobatan. Para ODGJ yang waras, dilatih keterampilan (terapi okupasi) membuat tas, piring dari bahan bekas (Recycle), olahan kue, berhias, juga kegiatan spiritual. Untuk terapi hiburan juga diajarkan menyanyi dan menari, dengan kelengkapan alat musik serta disalurkan bakatnya ke sanggar seni. Dalam masa pandemi Covid-19 saat ini, mereka dilatih membuat masker dan face shield serta dipasarkan di kantin Puskesmas, juga secara online.
Tercatat pada Puskesmas Gitik, Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi tahun 2012 hingga tahun 2016 penderita ODGJ sebanyak 257. Dari jumlah tersebut tujuh penderita dipasung dan terjadi 74 kekambuhan mengakibatkan rujuk bolak balik rehabilitasi ke Rumah Sakit Jiwa. Kecenderungan yang ada, mereka terlantar bahkan sampai mengancam, serta mengganggu pemandangan wilayah Banyuwangi sebagai destinasi wisata.
Selama ini, ODGJ hanya mengandalkan pengobatan medis seumur hidup. Namun demikian hal tersebut bukan jaminan sembuh. Bolak balik panti rehabilitasi sangat membutuhkan biaya dan membebani anggaran pemerintah karena rata-rata mereka berasal dari keluarga kurang mampu. Medis bukanlah jalan keluar yang final. “Karena sejatinya aktivitas setelah rehabilitasi inilah yang menjadi salah satu kunci kesembuhan,” ujar Widji.
Sebelum adanya Teropong Jiwa, kasus kekambuhan sangat tinggi, yakni 31 dari tahun 2012 sampai 2016. Kemudian kasus pemasungan sebanyak tujuh kasus dan banyak ODGJ tidak terurus di jalanan. Selain itu, rujukan ODGJ ke rumah sakit rehabilitasi ada 13 kasus, tidak ada ODGJ yang produktif dan mandiri. Juga terdapat tiga kasus perceraian ODGJ dan mereka cenderung kesulitan mencari pasangan hidup.
“Berbagai aspek yang diakibatkan jika ODGJ tidak diurus dengan benar salah satunya mereka bisa menjadi masalah sosial yang sangat mengancam tatatanan kenyamanan keamanan kehidupan bermasyarakat,” ujar Widji.
Namun sejak inovasi dibangun di tahun 2017, tidak ada lagi kasus pasung sampai sekarang, serta tidak ada ODGJ yang dirujuk ke rumah sakit rehabilitasi. Selain itu tidak ada kasus perceraian pasangan ODGJ dikarenakan rasa malu dan tidak dapat menafkahi, dan sebanyak empat orang sudah menikah. (byu/HUMAS MENPANRB)