JAKARTA--Rancangan Undang-undang Aparatur Sipil Negara (RUU ASN) memperkuat posisi sekretaris daerah (sekda) menjadi pejabat pembina kepegawaian (PPK) di daerah.
Pengalihan status PPK dari pejabat politik (kepala daerah) kepada pejabat karir tertinggi di daerah (sekda) ini, tujuannya meminimalisir politisasi birokrasi. Sebut saja mutasi yang tidak prosedural, menjadikan birokrasi sebagai ATM, dan lain-lain.
"Politisasi birokrasi di daerah sangat kuat. Birokrasi juga ibarat buah simalakama. Tak mendukung tetap kena, tidak mendukung juga kena. Akibatnya, PNS-lah yang dirugikan," kata Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (WamenPAN-RB) Eko Prasojo dalam diskusi publik di Media Center KemenPAN-RB, Jakarta, Kamis (11/4).
Pemindahan status PPK ke Sekda, lanjutnya, sampai sekarang masih jadi perdebatan di kalangan birokrasi. Ada kekhawatiran sekda juga bisa main politik. Terlebih di daerah, para PNS itu dikendalikan oleh sekda dan kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD).
"Kami diminta jaminan apakah sekda bisa netral bila sudah menjadi PPK. Itu sebabnya, ada aturan mengikat yang harus dipatuhi sekda untuk menghindari kooptasi," terangnya.
Salah satu ketentuan yang dicantumkan di RUU ASN adalah bila sekda ingin maju pilkada atau maju sebagai caleg di pemilu, yang bersangkutan harus mundur dari jabatannya minimal satu tahun sebelumnya. Dengan demikian, akses sekda untuk memanfaatkan PNS tidak bisa digunakan.
"Sekda yang ingin terjun ke dunia politik tidak boleh menggunakan atributnya," tegasnya. (Esy/jpnn)