Oleh: Suwardi (Pranata Humas Madya Kementerian PANRB)
Aplikasi Sistem Keuangan Desa yang diciptakan Ahmad Basori menjaga akuntabilitas penggunaan dana desa.
Sejak disahkannya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, masyarakat desa mendapat angin segar. Dana yang dianggarkan Anggatan Pendapatan dan Belanja Negara sebesar sebesar Rp1 miliar mengalir ke desa setiap tahun. Pemberian dana ke desa dengan jumlah yang begitu besar, jumlah pelaporan yang beragam, serta adanya titik-titik kritis dalam pengelolaan keuangan desa, menuntut tanggung jawab yang besar pula oleh aparat pemerintah desa.
Pemerintah desa dituntut harus bisa menerapkan prinsip akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan desa, di mana semua akhir kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat desa sesuai dengan ketentuan sehingga terwujud tata kelola pemerintahan desa yang baik. Untuk dapat menerapkan prinsip akuntabilitas itu tentunya tidak gampang. Diperlukan berbagai sumber daya dan sarana pendukung, di antaranya sumber daya manusia (SDM) yang kompeten serta dukungan sarana teknologi informasi yang memadai dan dapat diandalkan.
Namun demikan, dilihat dari kondisi SDM desa yang belum memadai, banyak pihak mengkhawatirkan pengucuran dana desa dapat berjalan dengan baik. Terdapat risiko-risiko yang yang harus di antisipasi agar tidak terjadi apa yang dikhawatirkan tersebut.
Kendala lainnya, desa belum memiliki prosedur serta dukungan sarana dan prasarana dalam pengelolaan keuangannya, serta belum kritisnya masyarakat atas pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja desa. Besarnya dana yang harus dikelola jangan sampai menjadi bencana, khususnya bagi aparatur pemerintah desa, yang bisa tersangkut kasus hukum karena ketidaktahuannya dalam mengelola dana desa yang begitu besar.
Niat Tulus Menyelamatkan Perangkat Desa
Kondisi itu menggugah hati seorang Akhmad Basori untuk ingin menolong para aparat desa agar tidak terjerat kasus hukum hanya karena ketidaktahuan mereka dalam mengelola dana desa tersebut. “Dana desa itu besar sekali, lompatannya sangat luar biasa. Satu desa Rp 1 miliar itu sesuatu yang mengkhawatirkan bagi kami. Apalagi ketika kami melakukan survei ke beberapa provinsi, ternyata banyak perangkat desa yang tidak tahu tata kelolanya,” ujar pria jebolan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) tahun 1995 ini.
Sebagai orang yang bekerja di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kondisi itu sangat mengkhawatirkan Basori. Dia melihat bahwa situasi ini bisa menjadi bencana besar di masa mendatang. “Sehingga kami harus membuat langkah-langkah yang sangat cepat untuk mengamankan salah satu program andalan pemerintah ini. Dengan berbagai cara pun kami upayakan,” ucap pria yang mulai bekerja di Perwakilan BPKP Provinsi Jawa Timur pada tahun 2004 ini.
Om Bas, sapaan akrabnya, menginisiasi rekan-rekannya yang lain untuk berusaha menciptakan pedomannya dalam bentuk buku dan langsung mensosialisasikannya. Tapi hasilnya ternyata kurang menggembirakan. Ditambah lagi, biaya yang dikeluarkan juga sangat besar.
Mereka harus bergerak cepat karena Program Dana Desa harus jalan. Tuntutan dari pemerintsah maupun DPR juga terus menekan BPKP untuk segera memikirkan solusi mengamankan dana desa. Bahkan dari KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sendiri meminta tolong agar BPKP dan Kementerian Dalam Negeri segera bertindak.
Akhirnya Bashori mendapat jawaban dengan basis teknologi digital. Dia pun mengumpulkan rekan-rekannya yang sama-sama memiliki hobi programming, untuk membuat sebuah sistem pengawasan keuangan. Itu dilakukan di luar tugas pokok mereka sebagai auditor di BPKP.
“Maka, dengan langkah cepat saya membuat inovasi aplikasi sederhana. Bukan masalah sederhananya, yang penting bagi kami saat itu adalah bagaimana anggaran yang besar ini bisa diselamatkan, bisa diamankan. Sehingga, jangan sampai ada kepala desa atau perangkat desa masuk kasus hukum hanya karena ketidaktahuan mereka dalam mengelola dana desa tersebut. Ini suatu yang penting bagi kami dan tanggung jawab kami selaku auditor internal pemerintah,” ucap Om Bas menjelaskan.
Lahirlah sebuah aplikasi yang waktu itu diberi nama SIMDA Desa (Sistem Informasi Manajemen Daerah), yang saat ini dikenal dengan Siskeudes (Sistem Keuangan Desa). Aplikasi yang diciptakan itu tidak hanya sekadar aplikasi, tapi di sana juga dilekatkan sistem pengendalian untuk mencegah jangan sampai satu desa melakukan pencairan uang melebihi anggaran.
“Nah inilah yang kami jaga. Dengan cara pola seperti ini kami tidak harus melakukan pengawasam secara langsung tapi berjenjang. Layer satu ditata dulu, baru ada layer dua berupa analitycal review, dan ketiga, melakukan pemeriksaan langsung ke lapangan. Inovasi ini juga untuk menghemat resources kami yang terbatas,” ucapnya.
Digunakan 93,22% Desa di Indonesia
Sebagai seorang auditor madya di Kedeputian Bidang Pengawasan Penyelenggaraan Keuangan Daerah (Bidwas PKD) BPKP, Om Bas mengaku tidak hanya sekadar melakukan pemeriksaan tetapi juga pembinaan terhadap aparat desa.
“Itulah yang menjadi moto kami, sehingga bagi kami, pengamanan dan pengawalan itu adalah yang utama daripada kita, belum apa-apa, melakukan tindakan represi. Bisa jadi mereka belum mengetahui ketentuannya, tapi sudah terkena kasus hukum,” ujarnya.
Aplikasi hasil karyanya itu pun di ujicoba untuk pertama kalinya pada tahun 2015, saat dia menjadi pegawai Perwakilan BPKP Provinsi Sulawesi Barat. Daerah yang dipilih adalah di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, suatu kabupaten yang memang jauh tertinggal. Bahkan perjalanan ke sana dibutuhkan waktu 12 jam off road dari Kabupaten Mamuju, sebuah perjalanan yang sangat melelahkan.
Daerah itu dipilih untuk membuktikan bahwa jika satu inovasi yang diciptakan bisa diterapkan di suatu daerah yang terpencil dengan kondisi SDM yang demikian minim, maka besar kemungkinan itu juga bisa diterapkan di daerah lainnya. “Waktu itu saya berpikiran, kalau ini berhasil insya Allah di seluruh wilayah Indonesia juga bisa diterapkan. Dan itu berhasil,” katanya.
Di tahun berikutnya, 2016, perkembangan Siskeudes cukup pesat. Aplikasi ini bisa dikebangkan di 168 desa. Perkembangan ini mengindikasikan bahwa aplikasi ini bisa ditarik ke level pusat atau nasional.
Secara bertahap penggunaan aplikasi ini pun melesat hingga mencapai 2.200 desa, kemudian naik menjadi 22 ribu desa, dan terus meningkat menjadi 40 ribu desa. Saat ini penggunaan Siskeudes mencapai 69 ribu desa atau sudah mencapai 93,22% dari seluruh desa di Indonesia. “Ini bagi kami merupakan suatu yang menggembirakan,” ungkapnya.
Basori memiliki prinsip bahwa aplikasi hasil karyanya itu dibagikan secara gratis, sehingga bisa menghemat penggunaan angaraan yang begitu besar. “Saya bagikan secara gratis, cuma-cuma ke seluruh desa, dan yang dibutuhkan hanya biaya sosialisasi dan pelatihan. Itu pun sudah kami komunikasikan dengan Kemendagri yang kemudian difasilitasi oleh APBD Kabupaten/Kota. Desa tidak boleh dipungut walaupun seperser pun untuk penggunaan aplikasi ini,” ucapnya.
Setelah tata kelola desa ini sudah seluruhnya tertata, Basori masih memiliki target ke depan. Pertama, dia ingin melakukan pemantapan karena dengan adanya pergeseran regulasi seiring perjalanan waktu, pasti banyak unsur-unsur yang bisa mengurangi jumlah penggunanya yang sudah mencapai 69 ribu desa.
Misalnya, ada kepala desa yang baru dilantik langsung melakukan perubahan, sehingga banyak perangkat desa yang tiba-tiba dia bongkar. “Itu kan artinya kita harus melakukan pelatihan ulang untuk aparat desa yang baru. Itu juga kami lakukan sosialisasi untuk pemantapan ulang,” ujarnya.
Aplikasi ciptaan Basori ini pun secara resmi sudah diluncurkan BPKP bersama-sama dengan Kemendagri pada 21 November 2018. “Kami, antara Kemendagri dan BPKP, kompak melakukan pembinaan,” kata pria kelahiran Jombang 42 tahun lalu ini. (*)
Nama : Akhmad Basori
Tempat, Tanggal Lahir : Jombang, 24 Februari 1976
Pendidikan : D-III Speialisasi Akuntansi STAN, D-IV Spesialisasi Akuntansi STAN
Pekerjaan : Auditor Ahli Madya, Deputi Pengawasan Penyelenggaraan Keuangan Daerah, BPKP Pusat