Menteri PANRB Yuddy Chrisnandi, Kepala BIN Sutiyoso dan pimpinan STIN bersama para wisudawan STIN
JAKARTA – Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) menaruh harapan besar terhadap alumni Sekolah Tinggi Intelejen Negara (STIN). Mereka diminta meng-upgrade kemampuan individual masing-masing agar kemampuan individual aparatur intelijen Indonesia mumpuni, tidak kalah dari kemampuan individual para agen intelijen dari CIA, FBI, M16 dan lain-lain.
“Ini persoalan krusial pertama yang harus segera diantisipasi oleh Badan Intelijen Negara (BIN), agar keamanan nasional (national security) negara kita semakin terjaga,” ujar Yuddy dalam orasi ilmiahnya yang berjudul Globalisasi dan Intelejen Governance pada wisuda STIN di Sentul, Bogor, Kamis (15/10).
Lebih lanjut, Guru Besar FISIP Universitas Nasional Jakarta ini mengungkapkan, globalisasi yang kini melanda dunia, menimbulkan berbagai implikasi bagi keamanan nasional. Sebab globalisasi juga menghadirkan berbagai kemudahan, termasuk kemudahan untuk mempengaruhi loyalitas seseorang.
Dikatakan, loyalitas masyarakat di era globalisasi lebih mudah terbentuk dengan berbagai macam informasi yang diterimanya serta koneksi politik di belakang informasi tersebut yang memiliki tautan lokal, nasional dan bahkan transnasional. “Hal ini lebih dipermudah ketika bangsa kita sendiri mengalami kemunduran dalam ikatan ideologis yang mempersatukan semuanya dalam nation state Indonesia,” ujarnya.
Pertanyaan besarnya, apa yang harus dilakukan oleh intelijen manakala globalisasi juga telah mengancam keamanan nasional (national security), dan bahkan merongrong eksistensi negara. Menteri khawatir, doktrin kita hari ini dalam memahami pertahanan dan keamanan nasional juga sudah konvensional dan klasik yang didasarkan atas ancaman militer dari darat, laut dan udara.
Yuddy juga khawatir, kita tidak mengantisipasi datangnya ancaman dari “dunia maya” yang dampak serangannya dari hari ke hari semakin nyata. “Apakah kita sudah memperkirakan manakala suatu saat aksi-aksi teroris tidak lagi memakai instrumen konvensional yaitu senjata dalam menjalankan aksinya-namun telah menggunakan teknologi?” sergahnya.
Apakah BIN juga telah mengantisipasi, bila serangan tersebut tidak ditujukan secara langsung kepada konsentrasi alat-alat pertahanan dan keamanan nasional, namun ke objek-objek vital negara tanpa harus mengirimkan pasukan, namun cukup mengacaukan dan meretas sistem komputer yang mengatur bekerjanya objek-objek vital tersebut? “Bukankah bila objek-objek vital yang diserang juga merupakan bagian dari penyerangan terhadap keamanan nasional (national security)?” ujar Yuddy lagi.
Beberapa pertanyaan reflektif tersebut yang menggelitik ini diharapkan bisa mendorong upaya penguatan intelijen kita adalah, sikap antisipatif terhadap kemajuan teknologi. Jangan sampai kemampuan antisipatif tersebut tertinggal oleh kemajuan teknologi yang dapat ditunggangi oleh aktor-aktor yang menginginkan instabilitas dan mengacaukan keamanan nasional (national security).
Lebih dari itu, intelijen sebagai lembaga yang harusnya memiliki kualifikasi pendeteksian dini (early warning system) menjadi lembaga terdepan dalam mengadopsi kemajuan teknologi agar memastikan keunggulan sikap antispatifnya. “Saya rasa hal ini menjadi fokus perhatian utama dari BIN ke depan,” imbuhnya..
Meskipun demikian, diakuinya bahwa untuk mengembangkan kapasitas itu tidaklah mudah. Selain diperlukan pendanaan yang besar, juga memerlukan kemampuan SDM yang prima, yang menurutnya dapat dilahirkan dari rahim Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) ini. (ags/rr/HUMAS MENPANRB)