JATINANGOR - Saat ini kita telah memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), oleh sebab itu birokrasi kita di semua tingkatan pemerintahan dituntut untuk lebih adaptif dan antisipatif terhadap berbagai perubahan yang sedang dan akan terjadi. Demikian kata Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Yuddy Chrisnandi, dalam orasi ilmiahnya pada acara Sidang Terbuka Senat Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Dalam Rangka Dies Natalis Pendidikan Tinggi Kepamongprajaan Ke-60 Tahun 2016 di Kampus IPDN Jatinangor, Kamis (17/03).
Yuddy mengungkapkan bahwa, masyarakat yang dilayani bukan hanya warga negara kita saja, tetapi juga warga negara ASEAN yang mencari nafkah di Indonesia. Oleh sebab itu, birokrasi kita harus disiplin untuk mewujudkan kinerja yang bermanfaat bagi masyarakat, namun juga tetap harus memperhatikan berbagai tuntutan global yang seringkali perubahannya begitu cepat. Dalam era MEA ini, kita harus berperan dan mampu mempengaruhi ekonomi ASEAN itu sendiri.
Untuk itu, peran birokrasi yang bersih, efisien dan melayani sangatlah penting. Birokrasi juga harus mampu menjadi katalisator perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. Setiap Aparatur Sipil Negara (ASN) harus mampu menjadi contoh dan teladan di lingkungannya masing-masing untuk menyongsong berbagai perubahan tersebut.
"Peningkatan profesionalisme ASN sudah tidak dapat ditawar lagi. Kita sudah tidak bisa lagi mentoleransi ASN yang 'asal kerja' saja. Setiap ASN saat ini dituntut untuk memberikan kontribusi kinerja yang jelas dan terukur kepada organisasinya. Dengan profesionalisme yang baik ini, akan terwujud standardisasi kompetensi sehingga untuk jabatan yang sama di berbagai daerah akan memiliki kualitas dan kapasitas yang setara," ujar Yuddy.
Menteri Yuddy berharap, ke depan tidak ada lagi ketimpangan kualitas ASN antar pusat dan daerah, Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa, antar Indonesia Bagian Barat dengan Bagian Timur, maupun antar kota dengan kabupaten. Kondisi ini memungkinkan setiap ASN ditugaskan di berbagai instansi dan wilayah Republik Indonesia sesuai dengan kebutuhan sehingga pada akhirnya ASN mampu menjadi perekat pemersatu bangsa demi tegaknya NKRI.
Untuk mewujudkan pemerintahan kelas dunia, tuturnya, Indonesia masih membutuhkan kerja keras yang sinergis dan berkelanjutan, khususnya dari dalam lingkungan birokrasi. Argumen yang melandasi pemikiran ini tergambar dari beberapa laporan kinerja pemerintahan, seperti :
1. The Global Competitiveness Report 2015-2016 (World Economic Forum) menempatkan daya saing Indonesia di peringkat ke-37 dari 140 negara. Jika dibandingkan dengan anggota ASEAN lainnya peringkat kita berada di bawah Singapura, Malaysia dan Thailand yang masing-masing menduduki peringkat ke-2, ke-18 dan ke-32.
2. The Worlwide Governance Indicators menunjukkan bahwa nilai rata-rata indeks efektivitas pemerintahan Indonesia (Government Effectiveness) di tahun 2014 masih sangat rendah yaitu dengan nilai indeks – 0,01 dan berada di peringkat ke-85.
3. Laporan Peringkat kemudahan berusaha (Ease of Doing Business) Tahun 2016 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-109 dengan skor 58,12 (dari skor maksimal 100 pada 189 negara/teritori). Meskipun mengalami kenaikan dalam 5 tahun terakhir, namun skor Indonesia masih lebih rendah jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, yaitu: Singapura (peringkat 1, skor 87,34), Malaysia (peringkat 18, skor 79,13), Thailand (peringkat 49, skor 71,42), dan Vietnam (peringkat 90, skor 62,10).
4. Indeks Persepsi Korupsi (IPK atau The Corruption Perceptions Index) Indonesia menurut data terakhir dari Transparency International (TI) juga masih rendah. Walaupun di satu sisi terdapat kenaikan nilai indeks dari 34 pada tahun 2014 menjadi 36 pada tahun 2015 (dari nilai indeks bersih korupsi 100), namun di sisi yang lain peringkat kita masih berada di urutan ke-88 dari 168 negara/teritori yang disurvei.
Menurut Yuddy, dari berbagai indikator di atas dapat disimpulkan bahwa penyebab utama belum baiknya peringkat Indonesia, baik secara global maupun di lingkup negara-negara ASEAN disebabkan oleh berbagai faktor. Diantaranya paling besar pengaruhnya adalah korupsi dan inefisiensi birokrasi pemerintahan.
"Kondisi di atas tentunya menjadi kendala untuk pencapaian tujuan pembangunan nasional karena dalam era persaingan global menuntut adanya birokrasi yang efisien, responsif, berkualitas, inovatif, transparan, dan akuntabel. Oleh sebab itu, kita perlu memiliki komitmen yang kuat dan bekerja lebih keras lagi untuk mewujudkan pemerintahan kelas dunia di negeri tercinta ini, terlebih-lebih saat ini kita memasuki era persaingan, khususnya di tingkat ASEAN," kata Yuddy.
Untuk itu, reformasi Birokrasi penting dijalankan agar sejajar dengan reformasi di bidang politik, ekonomi, hukum dan sektor pertahanan dan keamanan yang bergerak cepat. UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara merupakan bentuk perubahan yang radikal, yang tadinya hanya berorientasi pengelolaan kepegawaian yang bersifat administratif diubah menjadi pengelolaan manajemen kepegawaian yang berorientasi pada pembinaan sumber daya manusia aparatur dan menjadikan aparatur sebagai profesi yang terhormat, mandiri dan tidak diintervensi oleh kekuatan politik.
Yuddy menambahkan, berbagai produk perundang-undangan yang lain pun ditetapkan untuk kepentingan perubahan orientasi tatanan pemerintahan, antara lain : UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Demikian juga, guna memastikan berjalannya reformasi birokrasi dengan baik telah ditetapkan Road Map Reformasi Birokrasi 2015 – 2019.
Road Map memfokuskan delapan area perubahan yaitu : (1) Perubahan Mental Aparatur, (2) Kelembagaan, (3) Tata Laksana, (4) Akuntabilitas, (5) Pengawasan, (6) Peraturan Perundang-Undangan, (7) SDM Aparatur, dan (8) Pelayanan Publik. Sasaran utama reformasi birokrasi adalah untuk mewujudkan birokrasi pemerintahan yang bersih, akuntabel, efektif dan efisien serta memiliki pelayanan publik yang berkualitas.
Terkait dengan Gagasan Revolusi Mental Aparatur Negara, Menteri Yuddy mengatakan, Kementerian PANRB secara masif dan berkelanjutan terus mengkampanyekan gerakan agar culture dan mindset Aparatur Negara berubah dari “Birokrasi Priyayi” menjadi “Birokrasi Yang Melayani”. Di samping itu, revolusi Mental juga telah dimasukkan dalam implementasi perubahan tata laksana melalui pembatasan rapat di luar kantor dan gerakan hidup sederhana.
Menurutnya, melalui SE Menteri PANRB No. 11 Tahun 2014 yang kemudian dikuatkan oleh Permen PANRB No. 6 Tahun 2015 tentang Pedoman Pembatasan Pertemuan/Rapat di Luar Kantor Dalam Rangka Peningkatan Efisien dan Efektifitas Kerja Aparatur, sepanjang enam bulan pertama pelaksanaan kebijakan ini ternyata dapat menghemat anggaran negara sebesar 5,3 triliun rupiah.
Demikian juga dalam bidang SDM Aparatur, Kementerian PANRB juga sudah memastikan agar pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) pada Kementerian dan Lembaga berjalan menurut merit system sebagaimana yang diamanatkan oleh UU ASN. Seleksi untuk JPT tersebut diselenggarakan secara terbuka, transparan dan akuntabel. Untuk pengisian formasi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) juga dilakukan melalui sistem Computer Assisted Test (CAT). Dengan cara ini pengisian jabatan maupun pengadaan CPNS dijamin penyelenggaraannya bersih dan bebas dari KKN.
Selain dari yang disebutkan di atas masih banyak hal lain yang telah dilakukan oleh Kementerian PANRB dalam rangka menjalankan tugas negara untuk memperbaiki kualitas birokrasi. "Tentu saya tidak ingin mengatakan bahwa kinerja kami telah sempurna, namun untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara saya selaku Menteri PANRB, akan terus menerus bekerja keras memberikan yang terbaik," tegas Yuddy.
Selanjutnya Yuddy mengungkapkan, bahwa IPDN sebagai institusi pendidikan tinggi juga memiliki peran penting untuk menghasilkan calon-calon ASN profesional karena pembangunan pendidikan merupakan salah satu parameter penting dalam Indeks Pembangunan Manusia. Sebagaimana data United Nations Development Program (UNDP) tahun 2015, Indonesia menempati peringkat ke-110 dari 188 negara dalam Human Development Index (HDI). Selain itu Indonesia menempati peringkat 88 pada pilar pendidikan tinggi dan pelatihan.
Di satu sisi, dari berbagai fakta dan kajian kita yakin, bahwa Indonesia memiliki potensi yang tinggi untuk bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Namun di sisi yang lain, hal ini hanya akan tercapai apabila kita menempatkan pendidikan sebagai modal dasar bagi pembangunan manusia dan peningkatan daya saing.
"Oleh sebab itu, saya yakin bahwa IPDN sebagai institusi pendidikan memiliki peran yang sangat strategis untuk menyiapkan generasi penerus dan para pemimpin bangsa yang tidak saja memiliki kapabilitas, tetapi juga budaya dan integritas yang baik, serta memiliki jiwa nasionalisme yang kuat," pungkas Yuddy. (HUMAS MENPANRB)
Bekerja Lebih Keras Lagi Untuk Mewujudkan Pemerintahan Kelas Dunia
Dilihat: 4178
26.Nov.2024
26.Nov.2024
26.Nov.2024
26.Nov.2024