Foto: Ismadi Amrin/InfoPublik
Jakarta, InfoPublik – Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) di Indonesia, yang ditargetkan pada 2030, telah mencapai 62,5 persen atau sebanyak 139 indikator dari total target. Hasil itu jauh lebih baik dibandingkan pencapaian SDGs secara global yang hanya mencapai 17 persen.
"Di tingkat dunia, pencapaian SDGs ini suram, sementara Indonesia merupakan negara dengan pencapaian tertinggi di antara negara-negara berpenghasilan menengah atas," kata Manajer Pilar Pembangunan Ekonomi Sekretariat SDGs Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas/Kementerian PPN) Setyo Budiantoro dalam diskusi "Unlocking Sustainable Growth: Green Financing for Palm Oil Companies in Indonesia" di kampus Universitas Trisakti, Jakarta, Selasa (5/11/2024).
Berdasarkan data dari United Nations (UN) Sustainable Development Solutions Network (SDSN), Setyo menjelaskan bahwa komitmen SDGs Indonesia adalah yang tertinggi di Asia dan menempati peringkat ketujuh di dunia. "Di atas kita ada negara-negara Skandinavia, dan kita sering dijadikan referensi oleh negara-negara lain," ujarnya.
Namun, Setyo mengakui bahwa untuk mencapai target SDGs pada 2030, Indonesia masih menghadapi tantangan dalam hal pendanaan. Sebelum pandemi COVID-19, kebutuhan pendanaan SDGs Indonesia untuk periode 2020-2030 diperkirakan mencapai Rp67.000 triliun, dengan gap pembiayaan sebesar Rp14.000 triliun.
"Namun, pascapandemi, kebutuhan pendanaan SDGs Indonesia hingga tahun 2030 meningkat menjadi Rp122.000 triliun, dengan gap pembiayaan mencapai Rp24.000 triliun," tambahnya dalam acara yang diselenggarakan oleh CECT Sustainability Universitas Trisakti.
Untuk itu, Setyo mengajak semua pihak untuk berkolaborasi dalam mencapai SDGs. Bentuk kolaborasi ini dapat berupa inovasi pendanaan publik, campuran antara publik dan swasta, perbankan, lembaga keuangan non-bank, investor, hingga filantropi. "Indonesia cukup maju dalam sustainable finance, menjadi salah satu negara paling maju di antara 44 negara ekonomi berkembang," kata Setyo.
Dia menekankan bahwa pencapaian SDGs pada tahun 2030 merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan Indonesia keluar dari jebakan pendapatan menengah pada tahun 2041, menuju Indonesia Emas pada tahun 2045. “Jika SDGs tidak tercapai, dampaknya akan berakibat pada meningkatnya kemiskinan,” ujarnya.
Rektor Universitas Trisakti, Kadarsah Suryadi, menekankan bahwa di tengah krisis iklim global, pembiayaan hijau (green financing) memegang peranan penting untuk mendukung tujuan pembangunan keberlanjutan (SDGs). Kadarsah mengingatkan bahwa pembiayaan berkelanjutan seharusnya dianggap sebagai investasi, bukan sekadar biaya operasional.
“Tanpa investasi yang cukup, pembiayaan hijau tidak akan mampu memberikan dampak positif bagi lingkungan,” kata Kadarsah.
Pembiayaan hijau ini menyediakan modal yang dibutuhkan oleh bisnis untuk berinvestasi dalam infrastruktur, inovasi, dan proses yang ramah lingkungan. Hal ini akan membantu mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan risiko sosial.
Kadarsah juga menyoroti pentingnya sektor keuangan untuk tidak hanya berfokus pada keuntungan ekonomi, tetapi juga menciptakan dampak positif bagi sosial dan lingkungan. “Dalam menghadapi tantangan perubahan iklim, pembiayaan yang tidak hanya mencari keuntungan ekonomi, tetapi juga manfaat sosial dan lingkungan, merupakan kunci keberhasilan kita,” ujar Kadarsah.
Ia memberikan apresiasi kepada lembaga keuangan yang telah berkomitmen pada praktik bisnis yang bertanggung jawab dan mendukung keberlanjutan lingkungan. Kadarsah juga menyoroti peran lembaga swadaya internasional, seperti World Wide Fund for Nature (WWF), yang aktif mendorong pembangunan berkelanjutan melalui berbagai inisiatif di Indonesia.
Penciptaan Lapangan Kerja
Pada kesempatan yang sama, Koordinator Program Magister Studi Pembangunan Berkelanjutan dan Manajemen (Masudem) Universitas Trisakti, Asep Hermawan, menyatakan bahwa tujuan utama program Masudem adalah mendorong pembangunan berkelanjutan dan penciptaan lapangan kerja di Indonesia.
“Program ini melibatkan kampus di Indonesia dan luar negeri, seperti Thailand, Spanyol, Slovakia, dan Republik Ceko,” kata Asep.
Sementara itu, Chief Sustainability Officer UOB Indonesia, Jenny Hadikusuma, mengatakan bahwa lembaga keuangan, khususnya bank, sudah memiliki visi untuk meningkatkan penghimpunan dan penyaluran dana yang berkelanjutan sesuai dengan tuntutan global.
“Di bank, bukan hanya menyalurkan pembiayaan ke sektor yang bersifat ramah lingkungan, tetapi dari awal sudah berupaya menghimpun dana dari sumber pembiayaan yang berkelanjutan,” tutup Jenny.