Pin It

Besarnya intervensi politik dalam penempatan SDM aparatur yang tidak sesuai kompetensinya merupakan salah satu permasalahan besar yang perlu segera dicarikan jalan keluar. Birokrasi harus diisi oleh orang-orang profesional, dan tidak berdasarkan suka atau tidak suka.

Demikian ditegaskan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Eddy Topo Ashari di sela-sela acara Working Group Meeting of 14th, ASEAN Conference on Civil Service Matters (ACCSM), di Jakarta, Senin (23/3).

ACCSM merupakan salah satu bentuk kerjasama dalam pengelolaan kepegawaian di  ASEAN. Acara ini merupakan rangkaian kegiatan main conference di Bali, dan informal meeting di Bukit Tinggi, Sumbar, Oktober 2008, untuk merumuskan berbagai langkah strategis berupa draft final program-program yang akan diindors di Laos April mendatang. Working group kali ini  sebagai tindak lanjut kesepakatan Bukit Tinggi mengenai rencana kerja (work plan 2008 – 2012).  

Dikatakan juga, waktu di Bukit Tinggi, sudah dirintis ACCSM plus 3 countries, yakni Jepang, Korea dan China. Kemungkinkan mereka juga akan diundang ke Laos.  Gagasan Plus 3 countries ini dilontarkan Eddy Topo dalam acara main conference di Bali, dengan maksud agar wawasan ACCSM tidak semata-mata ASEAN. Apalagi ketiganya merupakan negara yang ‘larinya cepat’ dalam reformasi maupun inovasi.

Jepang misalnya, merupakan salah satu negara maju di Asia. Sedangkan Korea punya doktrin, boleh kalah dengan negara lain, tapi jangan kalah dengan Jepang. Sementara Cina, dalam sepuluh tahun terakhir, larinya luar biasa cepatnya, meski jumlah penduduknya lebih dari 1 miliar jiwa. Adapun permasalahan di negara-negara ASEAN sangat beragam, antara lain masalah manajemen, IT, assesment, untuk mencari, menaksir atau mengukur orang-orang yang profesional.

Eddy Topo yang merupakan Ketua ACCSM periode 2008 – 2012 ini mengakui, adanya sedikit kekhawatiran terhadap intervensi politik yang begitu besar belakangan ini. “Namun saya akan berusaha keras untuk mengembalikan ke track-nya yang benar. Kita tetap mencari orang profesional, negara ini jangan dipegang orang yang hanya sekadar suka atau tidak suka. Tapi yang memang pintar di bidangnya. Untuk itu perlu dilakukan  talents scording,  yakni memburu orang-orang berbakat,”  tambah Eddy Topo.
Baginya, tidak ada kamus untuk tidak optimis, meski intervensi politik di Indonesia besar. Orang yang memegang birokrasi harus orang-orang profesional, memiliki mindset yang tepat, tidak berorientasi kekuasaan tetapi pelayanan, karena rajanya, yang dilayani adalah rakyat, tidak diskriminatif. Sekarang sudah terasa ada kontaminasi, maka harus kita kembalikan. “Kita harus kembali ke situ, kita harus mencetak orang-orang seperti itu. Dan kita yakin bisa, karena dulu pernah bisa seperti itu,” ucapnya sambil menambahkan, bahwa sekitar 5 – 10 tahun lalu SDM aparatur Indonesia bisa berkompetisi secara global.

Diungkapkan,  mismatch yang terjadi saat ini terlalu besar, terutama di beberapa pemerintah daerah. Ini bisa terjadi, akibat adanya like and dislike. Misalnya, sarjana hukum menjadi kepala PU, sarjana IAIN menjadi Kepala Dinas Kesehatan, dan sebagainya. Kondisi ini sebenarnya sudah berlangsung sejak tahun 60-an. Namun, sejak 10 tahunan lalu hal ini sudah mulai ditinggalkan.  “Saya ingin mengembalikan ini, meskipun Ini tidak gampang,. Selanjutnya, yang lebih penting adalah menjaga konsistensinya,” tandas Eddy Topo.

Menurut Kepala BKN, salah satu caranya adalah  dengan membuat isu-isu dan bekerja sama dengan negara-negara tetangga yang memang sudah maju pesat, sehingga SDM aparatur kita bisa lebih kompetitif. Jangan sampai terbuai, dan begitu melihat negara tetangga, ternyata ketinggalan jauh.

Dikatakan, meski masih dalam satu rumpun, namun di antara negara anggota ASEA terdapat perbedaan sosio kultur. Untuk itu, Indonesia juga tidak bisa begitu saja ‘menjiplak’ apa yang telah dilakukan oleh suatu negara. Untuk itu yang bisa dilakukan adalah dengan mengambil beberapa item yang cocok. Misalnya dari Malaysia, ada  beberapa item yang cocok, dan beberapa item lain, Indonesia cocok dengan Singapura. Namun kalau untuk pusat-pusat  trainning official, yang banyak di Thailand. 

Beda lagi dengan Vietnam, yang tahun 90-an masih belajar ke Diklat LAN di Pejompongan misalnya, kini income per kapitanya sudah lebih tinggi. Pasalnya, kalau ada keinginan belajar, maka dia belajar benar-benar. Dikirim kadernya ke Amerika, dan setelah kembali, maka di banguin sistem dan kondisi aparaturnya.  (Humas Menpan)