Pin It

Menteri Negara PAN dan Reformasi Birokrasi E.E. Mangindaan wanti-wanti agar pelaksanaan reformasi birokrasi gelombang kedua tidak mengulangi kesalahan yang terjadi dalam reformasi birokrasi gelombang pertama, yakni terjadinya disorientasi karena motivasinya cenderung  perbaikan remunerasi melalui tunjangan kinerja.

Penegasan itu disampaikannya dalam Roundtable Seminar Reformasi Birokrasi bersama Australian Public Service (APS) Commision di Jakarta, Selasa (8 Juni). “Kalau dianalisis, reformasi birokrasi gelombang pertama telah kelihatan hasilnya, namun di sana-sini masih terdapat kekurangan,” ujar Menteri Mangindaan.

Untuk menghindari terjadinya disorientasi yang lebih pada motivasi perbaikan remunerasi, seperti sudah terjadi sebelumnya, kalau instansi pemerintah yang mengusulkan reformasi birokrasi hanya mengedepankan atau motivasi utamanya semata-mata perbaikan remunerasi, usulan tersebut akan dikembalikan.

Kekurangan dan kendala lain yang terjadi dalam reformasi gelombang pertama antara lain belum maksimalnya pencapaian sasaran pembenahan pada aspek kelembagaan, tatalaksana, manajemen SDM aparatur, akuntabilitas, pengawasan, pelayanan publik, reward and punishment, serta perubahan mindset dan culture set.

Ditambahkan, pelaksanaan reformasi birokrasi lebih menyentuh pada aspek mikro, yang berfokus pada pengembangan internal manajemen instansi yang bersangkutan, belum menyentuh aspek makro yang menyangkut kerangka regulasi nasional di bidang pendayagunaan aparatur negara.

Selain itu, lanjut Menteri, belum dikembangkan sistem monitoring dan evaluasi yang komprehensif dan terpadu secara nasional. “Masih banyak pemimpin instansi pemerintah yang tidak berani memberikan punishment kepada jajarannya yang melakukan kesalahan atau penyimpangan,” tandasnya.

Komitmen pemerintah dalam pelaksanaan reformasi birokrasi  semakin dipertegas dengan diterbitkannya Peraturan Presiden No. 5/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 – 2014 yang menetapkan 11 prioritas nasional, di mana reformasi birokrasi dan tata kelola ditempatkan pada prioritas pertama.

Menpan dan RB menegaskan, sejalan dengan RPJMN Tahap II, maka reformasi birokrasi gelombang kedua ini  harus dilaksanakan dengan lebih komprehensif dan sinergis, melalui tahapan demi tahapan yang satu sama lain saling mendukung. Saat ini, lanjutnya, grand design dan road map reformasi birokrasi 2010 – 2025 telah diselesaikan, dan dalam waktu dekat diharapkan sudah bisa ditetapkan dalam bentuk peraturan presiden.

Terkait dengan hal itu, ditegaskan kembali bahwa reformasi birokrasi tidak sama dan tidak identik dengan remunerasi. “Disorientasi inilah yang harus kita luruskan. Dalam reformasi birokrasi, kita harus melaksanakan 10 program secara terpadu, sistematis, berencana dan berkelanjutan,” ujarnya.

Ditambahkan, seluruh proses tahapan dan langkah-langkah perubahan dalam reformasi birokrasi dilakukan melalui penilaian yang komprehensif, obyektif dan akuntabel.

 

Dimulai tahun 1953

            Dalam kesempatan itu, Menteri Mangindaan juga mengungkapkan perjalanan reformasi birokrasi di Indonesia. Dikatakan, pada masa demokrasi parlementer tahun 1953, Kabinet Wilopo membentuk Panitia Organisasi Kementerian (PANOK). Kemudian pada masa demokrasi terpimpin tahun 1962, dibentuk Komando Retooling Aparatur Negara (KOTRAR).

Melalui Keputusan Presidium Kabinet Ampera No. 75/1966 dibentuk Tim Penertiban Aparatur dan Administrasi Pemerintah (Tim PAAP). Pada masa orde baru ditindaklanjuti dengan pembentukan Kementerian Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara (MENPAN), yaitu pada era Kabinet Pembangunan I, yang selanjutnya mengalami perubahan nomenklatur sampai dengan Kabinet Pembangunan VII pada tahun 1998.

Komitmen pelaksanaan reformasi birokrasi total terus dilanjutkan pada Kabinet Reformasi, kabinet Persatuan Nasional, Kabinet Gotong Royong, Kabinet Indonesia Bersatu I dan II.

Sebagai perbandingan, dikemukakan juga bahwa reformasi birokrasi yang dilaksanakan di beberapa negara, memakan waktu panjang, dan terus berlangsung hingga kini.

Cina pertama kali melaksanakan reformasi birokrasi pada masa Dinasti Song (960-1279). Di bawah kepemipinan PM Wang Anshi, reformasi birokrasi menekankan pada sektor pertanian dengan membentuk undang-undang baru (Xin-fa). Sejak ’politik pintu terbuka’, Cina telah enam kali melakukan reformasi birokrasi sekaligus reformasi ekonomi (1978 – 2008).

Di Jepang, diawali dengan restorasi Meiji pada 1860-an, yakni reformasi politik dan sosial yang selanjutnya mendasari reformasi bidang-bidang lainnya, sementara reformasi secara intensif dilakukan tahun 1960-an.

Amerika Serikat melaksanakan reformasi tahun 1883, diawali dengan reformasi administrasi dan kepegawaian, di mana untuk pertama kali diterapkan sistem merit dan pembentukan komisi kepegawaian (The Pendleton Act 1883). Dalam kurun waktu 1883 – 1993, Amerika Serikat telah melakukan 13 kali reformasi dan 9 kali membentuk komisi reformasi. Sementara Australia, mulai melakukan reformasi birokrasi sejak 35 tahun yang lalu.

Untuk Indonesia, lanjut Mangindaan, reformasi secara intensif dan masif dimulai tahun 1998. Sepanjang 10 tahun lalu, reformasi birokrasi diistilahkan reformasi gelombang I, masih dilaksanakan secara parsial melalui berbagai terobosan, inovasi dan best practices, yang secara umum belum menyentuh aspek makro yang menyangkut kerangka regulasi nasional bidang pendayagunaan aparatur negara. ”Selain itu juga belum dikembangkan sistem monitoring dan evaluasi yang komprehensif dan terpadu secara nasional,” tambahnya. (HUMAS MENPAN-RB)