Enam hari mengikuti pelatihan tata laksana kepemerintahan atau Governance Business Process Training Course (GBPTC) di Copenhagen Business School (CBS), Denmark, terasa begitu singkat, tetapi memberi manfaat yang luar biasa. Mulai hari pertama, Senin (13/04) sampai hari terakhir Sabtu (18/04), penuh dengan makna. Proses pembelajaran di kelas dengan narasumber para guru besar dari CBS, dikombinasikan dengan kunjungan lapangan ke beberapa unit kerja pemerintahan dengan pelayanan publik terbaik, serta mengamati tatanan kehidupan keseharian warga Denmark yang ramah, merupakan santapan utama para peserta GBPTC. Laporan perjalanan ini akan diturunkan dalam beberapa tulisan secara bersambung.
Minggu siang (12/04), 24 peserta GBPTC dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) dipimpin Yanuar Ahmad, tiba di bandara internasional Copenhagen, setelah sebelumnya transit sebentar di Bandara Schiphol Amsterdam. Udara dingin Ibukota Kingdom of Denmark yang mencapai 3 derajat celcius tidak menyurutkan langkah kami untuk menyapa kota tua tersebut, sekaligus menjajal lika liku eksotismenya melalui canal tour, menyusuri kota yang konon kanal dan tata kotanya dibangun pada abad ke - 15.
Rasa lelah dan "Jet Lag" karena tiga belas jam perjalanan lintas benua, mendadak sirna berganti dengan antusiasme untuk menyimak karya peradaban Eropa abad pertengahan (renaissance) yang terlihat begitu angkuh dan megah. Bangunan tua bergaya arsitektur gothic dan romanesque berdiri kokoh di setiap sudut kota. Lalu lalang kota tampak begitu tenang, jauh dari kebisingan karena umumnya penduduk menggunakan sepeda sebagai sarana transportasi. Ruang-ruang terbuka di depan cafe halaman dan taman kota dipenuhi warga kota yang bercengkrama sambil menikmati secangkir kopi panas di tengah gigitan cuaca dingin.
Kerajaan Denmark terdiri dari Metropolitan Denmark seluas 43,09 ribu Km2 dan Greenland seluas 2, 17 juta Km2, merupakan negara maritim dengan 501 pulau. Jumlah penduduknya mencapai 5,63 juta jiwa, dengan pendapatan perkapita menembus US$ 62,62 ribu. Penduduknya menggunakan Bahasa Denmark (Kobenhavn) dan mata uang Danske Krone (DKK).
Denmark memiliki 4 musim, yakni musim dingin (Desember-Februari), musim semi (Maret-Mei), musim panas (Juni-Agustus), dan musim gugur (September-November). Kedatangan kami kesana terasa istimewa karena bertepatan dengan dimulainya musim semi. Walaupun cuaca sangat dingin tetapi warna warni bunga mulai tampak merekah di beberapa ruang terbuka hijau kota.
Senin (21/04), adalah kelas pertama kami di CBS. Disambut President CBS, Per Holten Anderson, dan selanjutnya dipandu oleh tiga orang yang ramah dan kompeten selama proses pembelajaran di CBS, yakni Kim Pedersen (Program Director CBS Executive), Line Laustsen Langelund (Program Manager CBS Executive), dan Nina Dadalauri (Facilitator CBS Executive). Materi pertama yang kami serap seputar reformasi manajemen publik di Denmark oleh Prof. Carsten Greve. Diungkapkan bahwa reformasi di Denmark dilaksanakan di semua sektor, dengan prioritas utama reformasi di pemerintahan daerah (local government), kepolisian (police reform), pengadilan (courthouse reform), perguruan tinggi (university reform), sekolah dasar (primary scholl reform), ketenagakerjaan (labour market reform), dan tata kelola pemerintahan elektronik (digitalization reform).
Secara umum reformasi di Denmark dibagi ke dalam dua tipe, yakni reformasi administratif (administrative led reforms) dan reformasi kepemimpinan politik (politically led reforms). Menurut Greve, tiga langkah kunci yang membuat reformasi di Denmark berhasil, sehingga menjadi negara dengan tingkat korupsi terendah di dunia, serta negara dengan pemerintahan paling efektif di dunia. Pertama, melakukan modernisasi yang berkelanjutan (continious modernization); Kedua, melakukan reformasi yang dinamis dengan unit organisasi yang lebih besar (dynamic reforms with bigger organization units); dan Ketiga, melakukan digitalisasi sebagai tren reformasi masa kini (digitalization as current reform trend).
Sesi berikutnya kami dibuat terpesona oleh Prof. Ove Kaj Pedersen, yang membedah materi tentang the danish model dan challenges that top executives face in the welfare state. Danish model dibangun dari lima kelembagaan, yakni homogenitas (homogeneity), konsensus ideologi (ideological consensus), stabilitas politik (political stability), tata kelola liberal (liberal corporatism), dan partisipasi demokratis (democratic participation). Menurut Ove, Danish model sejatinya merupakan the hybrid model, yaitu : perpaduan antara sosialisme dan liberalisme (socialism and liberalism), pasar dan negosiasi ekonomi (markets and negotiated economy), serta kesejahteraan masyarakat dan dunia usaha yang kompetitif (public welfare and private competitiveness).
Untuk menjemput tantangan tata kelola pemerintahan masa depan yang semakin kompetitif, profesor pada departement for business and politics CBS tersebut, mengelaborasi beberapa item penting untuk mengubah pola welfare state menjadi competition state, yakni : tugas (tasks), struktur (structure), organisasi (organization), pengendalian (steering), manajemen (management), dan kompetensi (competencies). (HS/HUMAS KEMENPANRB)