Penerbitan Inpres No. 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi terbukti mampu mendongkrak percepatan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia dari rata-rata 0,06 per tahun menjadi 0,16 per tahun, atau meningkat lebih dari 250 persen dalam periode 2004 – 2009.
Demikian dikatakan Menteri Negara PAN dan Reformasi Birokrasi dalam sambutan pada pembukaan Seminar Nasional Pakta Integritas, yang disampaikan oleh Sekretaris Kementerian Negara PAN dan Reformasi Birokrasi, Tasdik Kinanto, di Jakarta, Senin (30/11).
Lebih lanjut, Tasdik mengatakan, IPK Indonesia tahun 2009 naik menjadi 2,8 dan berada pada posisi ke-111 dari 180 negara yang disurvei oleh Transparency International (TI). Dengan kata lain, berdasarkan perspektif internasional, pelaksanaan Inpres No.5/2004 berhasil mempercepat kinerja pemberantasan korupsi di Indonesia.
Diungkapkan, IPK Indonesia mengalami peningkatan dari 1,7 pada tahun 1999 menjadi 2,0 pada tahun 2004. Artinya, dalam periode lima tahun, IPK Indonesia meningkat 0,3 atau tumbuh rata-rata 0,06 per tahun.
Pada tahun 2005, pasca terbitnya Inpres No. 5/2004, IPK Indonesia menjadi 2,2, kemudian meningkat menjadi 2,4 pada tahun 2006, turun menjadi 2,3 pada tahun 2007, dan kembali naik menjadi 2,6 pada 2008, dan naik lagi menjadi 2,8 pada 2009. Ini berarti, dalam lima tahun IPK Indonesia meningkat 0,8 atau tumbuh rata-rata 0,16 per tahun.
Seperti diketahui, Kementerian Negara PAN bersama Tiga Pilar Kemitraaan sejak tahun 2005 menempatkan Pakta Integritas sebagai agenda dan gerakan penting dalam upaya pencegahan korupsi. Sebab, pencegahan korupsi sangat efektif kalau dimulai dari institusi masing-masing.
Untuk itu, organisasi penandatangan Pakta Integritas diimbau berlomba-lomba mengupayakan perwujudan zona bebas korupsi. ”Saya yakin, penerapan Pakta Integritas secara konsisten disertai dengan penerapan reward and punishment yang konsekuen, merupakan modal awal yang baik untuk mewujudkan zona bebas korupsi,” ujar Tasdik menambahkan.
Dari hasil pemantauan Kementerian Negara PAN, sampai saat ini belum banyak instansi yang melaksanakan program zona bebas korupsi ini. Banyak pejabat yang mencanangkan diri dan instansinya sebagai wilayah bebas korupsi, dengan berbagai motif, namun akhirnya kandas dalam implementasinya, lantaran tidak didukung oleh jajaran di bawahnya.
Ada dua model penerapan zona bebas korupsi. Model pertama, dengan menetapkan program atau wilayah yang akan dibangun sebagai pilot project, kemudian diberikan perlakuan khusus. Sebagai contoh, Depdiknas memilih program SPMB (Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru) sebagai program bebas korupsi, Depsos menetapkan UPT yang menerima penghargaan Sitra Pelayanan Prima.
Model kedua, dengan menetapkan kriteria tertentu dari seluruh unit kerja dalam suatu instansi. Penilaian untuk penetapan Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dilakukan setiap periode tertentu. Pada model ini, seluruh unity kerja dalam instansi mendapatkan program pencegahan korupsi yang sama, misalnya seperti yang dilakukan oleh Departemen Pertanian.
Tasdik mengakui, implementasi, penerapan dan pengembangan pulau integritas (island of integrity) yang digunakan pertama oleh Transparency International, berjalan lamban. ”Masih 89 persen Pemda belum berhasil menerapkan island of integrity dengan baik, dan baru 11 persen yang berhasil dengan baik,” ujarnya.
Hal ini disebabkan kurang kuatnya komitmen pimpinan daerah dan belum tumbuhnya mind-set dan cultural-set aparat, masih sulitnya mengubah sikap dan perilaku menjadi lebih akuntabel, serta kesulitan menyusun action plan pakta integritas dan pulau-pulau integritas secara rinci.
Adapun daerah-daerah yang mengalami kemajuan dalam menerapkan pakta integritas antara lain, Pemprov Kalsel, Pemprov DIY, Pemkab Kebumen, pemkot Dumai, Pemkot Pekanbaru, Pemkot Banjarbaru, Pemkot Palangkaraya, Pemkot Yogyakarta, Pemkot Denpasar, dan Pemkot Makassar. (HUMAS MENPAN)