JAKARTA – Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Yuddy Chrisnandi mengatakan usahanya memperoleh gelar Guru Besar di Universitas Nasional membutuhkan waktu yang cukup lama. Dia harus menunggu selama 15 tahun setelah menjadi Lektor Kepala di kampus tersebut.
“Tahun 2000 pangkat saya setingkat Lektor Kepala. Sekarang sudah tahun 2015, jadi perlu 15 tahun saya mendapat gelar Guru Besar,” kata Yuddy Chrisnandi usai pengukuhan sebagai Guru Besar di kampus Universitas Nasional Jakarta, Sabtu (23/05).
Yuddy mengakui, selama ini masyarakat lebih banyak mengenal dirinya sebagai seorang politisi dan pengusaha. Padahal, sebenarnya dia sudah bergelut sebagai akademisi sejak tahun 1995. “Saat itu saya diminta langsung oleh Rektor Unas Bapak Umar Basalim untuk mengajar di Fakultas Ilmu Ekonomi,” kisahnya.
Setelah lulus S2 di UI Yuddy menjadi staf penelitian di Fakultas Ekonomi UI, sebagai staf honorer. Karena honornya terlalu kecil dan kerjanya sangat santai, dalam tahun 1994 – 1995 dia sering diundang menjadi pembicara tentang masalah-masalah ekonomi politik. “Pada saat selesai ceramah saya duduk di sebelah pak Umar Basalim, Rektor Unas. Kemudian dia tanya, apakah kuliah saya sudah selesai. Dia kemudian meminta saya ngajar di sini, dan saya langsung ambil kesempatan itu,” kata Yuddy.
Saat menjadi pengajar, Yuddy mengaku menemukan kebahagiannya. Idealisme dalam pemikirannya sebagai seorang akademisi terjaga lantaran dirinya bisa terus berinteraksi dengan mahasiswa dan terus menambah ilmu. "Sambil meneruskan ke S-3 dan terus mengajar, dan tahun 2000 saya menjabat sebagai Lektor Kepala di UNAS. Karir akademik saya panjang, dan tidak pernah cuti mengajar, walau saya sempat menjabat staf khusus pada masa Presiden Megawati," jelasnya.
Titik tolak untuk menggapai gelar akademik tertinggi diawali pada pertengahan tahun 2011, saat Yuddy memperoleh kesempatan penilaian atas kajian ilmiah, yang akhirnya ditawari mengikuti seleksi majelis guru besar UNAS pada Januari 2012. "Kajian saya mengenai political engineering, yakni rekayasa politik elit untuk pembangunan jangka panjang diterima. Hasilnya dibawa lagi ke Kopertis dan diseleksi selama setahun. Kala itu, jurnal yang mengantarkan saya sebagai guru besar tingkat universitas dinilai ketinggalan zaman, karena sudah terlalu lama," ungkap Yuddy. Dia lalu membuat penelitian baru bekerja sama dengan akademisi Malaysia mengenai hubungan Indonesia-Malaysia yang kerap terjadi konflik, lantaran ada ego masing-masing negara. Hasil penelitian itu lalu dikerucutkan pada penelitian terkait pecahnya Golkar dan terbentuknya sejumlah partai baru seperti Gerindra, Hanura dan Nasdem.
Yuddy mengakui, pidato pengukuhannya sebagai guru besar banyak berbicara mengenai hal-hal di luar posisinya sebagai seorang Menteri Kabinet Kerja, tetapi sebagai akademisi. (ns/HUMAS MENPANRB)