Menteri PANRB bersama Gubermur Jabar, Walikota Bandung dan Pendiri Yayasan Kebudayaan Rancage, Ayip Rosidi, pada acara penyerahan Hadiah Sastera Rancage dan Hadiah Samsudi 2015 di Gedung Pusat Studi Sunda, Bandung (22/08)
BANDUNG - Produk kesusasteraan kita harus mampu menjadi sumber inspirasi sekaligus pengawal hati dan pikiran kita semua dalam mempertahankan identitas nilai-nilai ke-Indonesia-an yang telah digariskan oleh leluhur dan para founding fathers kita.
Demikian disampaikan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Yuddy Chrisnandi, saat memberikan apresiasi pada acara penyerahan Hadiah Sastra Rancage dan Hadiah Samsudi 2015 di Gedung Pusat Studi Sunda, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (22/8).
Pada kesempatan itu, Menteri Yuddy didampingi Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, Walikota Bandung Ridwan Kamil, Ery Riyana Hardjapamekas, dan Ajip Rosidi selaku penggagas Hadiah Sastera Rancage. Acara tersebut terselenggara atas kerjasama Yayasan Kebudayaan Rancage dengan Yayasan Pusat Studi Sunda, masyarakat dan berbagai pihak yang peduli terhadap sastera budaya.
Hadiah Sastra Rancage adalah penghargaan yang diberikan kepada orang-orang yang dianggap telah berjasa bagi pengembangan bahasa dan sastra daerah di Indonesia, sedangkan Hadiah Samsudi adalah penghargaan khusus untuk penulis buku bacaan anak berbahasa Sunda.
Yayasan Kebudayaan Rancage didirikan sebagai rumah belajar berdasarkan kepedulian terhadap pelajar pribumi yang semakin tidak mengenal budaya lokal serta jauh dari nilai-nilai keislaman. Tugasnya turut mengambil peran dalam memantapkan dan menyebarluaskan bahasa ibu atau bahasa daerah agar dikembangkan secara terencana dan berkesinambungan, selain melalui pendidikan dan pengajaran juga melalui penerbitan buku bacaan yang ditulis khusus dalam bahasa sastra daerah.
Menteri Yuddy menyampaikan apresiasi yang tinggi atas terselenggaranya acara tersebut karena akan memotivasi para sastrawan, seniman, dan budayawan untuk terus berkarya. "Menjadi harapan kita semua, bahwa dengan pemberian kedua hadiah ini dapat menambah motivasi para insan sastera di tanah air untuk senantiasa menggelorakan semangatnya dalam bekerja sehingga bisa melahirkan karya-karya sastera terbaik dan sekaligus memberi kontribusi positif dalam mengisi alam kemerdekaan yang telah kita nikmati selama 70 tahun." Kata Yuddy.
Pada kesempatan itu, Yuddy juga menjelaskan tentang permasalahan pokok bangsa yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya, yang harus diantisipasi dan segera diselesaikan, yakni merosotnya kewibawaan negara, melemahnya sendi-sendi perekonomian nasional, serta merebaknya intoleransi dan krisis kepribadian bangsa.
Menurut Yuddy ketiga permasalahan tersebut mustahil dapat diatasi tanpa adanya perubahan dan keterlibatan semua pihak. "Untuk mengatasinya, diperlukan perubahan yang bersifat mendasar berupa terobosan (breakthrough), baik dalam pola pikir (mind set) maupun budaya kerja (culture set) oleh segenap komponen bangsa, termasuk di dalamnya Komunitas Kesusasteraan Indonesia," tegasnya. "Perubahan mendasar ini lazim juga disebut “Revolusi Mental” yang kita ketahui bersama mulai diperkenalkan sebagai bagian dari “Nawa Cita” oleh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla." terangnya.
Yuddy tidak menutup mata, bahwa para sasterawan juga memiliki berbagai kebutuhan yang memerlukan uang. Karenanya para sasterawan harus terpacu untuk melahirkan karya yang berkualitas agar dapat diterima oleh masyarakat luas.
Namun demikian, menurut Yuddy, hal ini bukan berarti para sasterawan hanya berorientasi pada penerimaan pasar saja. Justru sebaliknya karya-karya sastera yang dihasilkan harus mampu menjaga agar masyarakat kita tidak terjebak dalam pola hidup yang hanya mementingkan materi duniawi yang cenderung mengedepankan egoisme dan mendewakan gaya hidup hedonis.
Dengan kata lain, karya sastera adalah instrumen revolusi mental. "Karya sastera yang dihasilkan harus juga dilandasi oleh nilai-nilai luhur bangsa, seperti mengedepankan kepentingan masyarakat di atas kepentingan diri sendiri/golongan, mau bekerja sama secara gotong royong, peduli pada kelestarian lingkungan hidup, serta selalu memperhatikan unsur etika dan estetika," ungkap Yuddy.
Pada kesempatan itu, Ajip Rosidi menyampaikan kesedihannya karena minat membaca dan apresiasi terhadap kesusasteraan sangat rendah."Bangsa kita tidak suka membaca. Tidak suka karya satra yang berkualitas," kata Kang Ajip.
Ajip Rosidi hidup tanpa ijazah. Beliau menjadi sastrawan besar bukan karena ijazah, tetapi karena suka membaca dan menulis. Selama hidupnya, Ajip telah melahirkan 159 judul karya sastera. Diakhir acara Yuddy juga berkesempatan menyerahkan penghargaan kepada para sasterawan penerima Hadiah Sastera Rancage dan Samsudi 2015, serta melihat pameran lukisan karya para seniman daerah di lantai 3 Gedung Pusat Studi Sunda. (Hs/rw/HUMAS MENPANRB)