JAKARTA - Kementerian PAN – RB kembali mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk yang keempat kalinya secara berturut-turut. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) diterima oleh Sekretaris Kementerian PAN dan RB Tasdik Kinanto, pimpinan 33 kementerian/lembaga dari Ketua BPK RI Hadi Poernomo di Jakarta, Selasa (26 Juni 2012 ).
Dalam kesempatan itu, Tasdik Kinanto antara lain mengatakan, opini WTP yang diraihnya sejak tahun 2008 merupakan hasil kerja keras dan ketaatan jajaran Kementerian PAN dan RB untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. “Kami mengucapkan terima kasih kepada Ketua BPK dan jajarannya yang tetap memberikan opini WTP, dan ke depan akan terus berupaya untuk memeprtahankan prestasi ini,” ujarnya.
Diungkapkan, dari LHP tahun 2006 dan 2007 Kementerian PAN dan RB meraih opini WDP, kemudian sejak tahun 2008 hingga tahun 2011 secara berturut-turut meraih opini WTP.
Menurut Ketua BPK Hadi Poernomo, tahun ini BPK memberikan opini WTP kepada 27 kementerian/lembaga (K/L), dan opini WDP untuk 7 K/L. Selain memberikan opini atas kewajaran laporan keuangan, pemeriksaan laporan keuangan juga mengungkapkan temuan adanya kelemahan system pengendalian intern (SPI) dan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundangan.
Permasalahan terkait dengan SPI, terutama terkait dengan pengelolaan asset tetap, antara lain asset yang belum diinventarisasi dan dinilai, asset tetap tidak diketahui keberadaannya, asset tetap belum didukung dokumen kepemilikan, serta asset tetap dikuasai/digunakan pihak lain yang tidak sesuai ketentuan pengelolaan barang milik Negara (BMN).
Adapun permasalahan terkait dengan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundangan antara lain menyangkut 6 hal. (1) Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dipungut tanpa peraturan pemerintah dan digunakan langsung tanpa mekanisme APBN; (2) PNBP yang terlambat disetor ke kas Negara; (3) Pendapatan dan belanja hibah yang belum dilaporkan kepada Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara; (4) Belanja yang tidak dipotong/dipungut pajak; (5) Ketidakpatuhan dalam proses pengadaan barang/jasa, seperti kelebihan pembayaran, kemahanan harga, tidak ada bank garansi, pemutusan kontrak, kegiatan fiktif dan tidak didukung bukti pertanggungjawaban serta keterlambatan penyelesaian peerjaan namun rekanan belum dikenai denda; dan (6) realisasi biaya perjalanan dinas yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Dalam hal ini, BPK merekomendasikan agar pimpinan K/L meningkatkan pengendalian dan pengawasan terhadap penatausahaan dan pengamanan asset milik Negara, mengeloola PNBP, pajak dan hibah sesuai ketentuan, lebih meningkatkan pengawasan pelaksanaan pengadaan barang /jasa, meningkatkan pengawasan dan pengendalian bukti-bukti pertanggungjawaban perjalanan dinas.
Selain itu, secara lebih spesifik BPK mengimbau Badan Pertanahan Nasional agar merumuskan suatu kebijakan khusus dengan biaya yang lebih murah dan proses yang leih mudah untuk mempercepat penyelesaian sertifikasi tanah-tanah yang dikuasai Negara dengan tetap memeprhatikan koridor ketentuan yang berlaku. (ags/HUMAS MENPAN-RB)