Dalam kesempatan itu, Panani menyoroti tiga hal, yakni kelembagaan, ketatalaksanaan dan SDM aparatur. Di bidang kelembagaan, menurut dia, perlu dilakukan pengkajian mendalam soal jabatan fungsional dan jabatan struktural yang ada, dan diarahkan untuk pengembangan jabatan fungsional.
Dikatakan juga agar setiap instansi yang akan mengirimkan calon peserta diklat harus benar-benar selektif, sehingga tidak sekadar untuk mengejar sertifikat. Pasalnya, banyak di antara peserta diklat sebenarnya sudah menduduki jabatan. Padahal, mestinya diklat itu dilakukan untuk menyiapkan pegawai yang akan menduduki jabatan berikutnya.
Menjawab pertanyaan J.B. Kristiadi terkait dengan daya saing, Panani mengatakan, LAN ke depan harus membuka diri dan melihat apa yang dilakukan negara lain, serta perlunya melakukan benchmark.
Terkait dengan persoalan otonomi daerah, yang sudah berjalan 13 tahun, Panani sependapat bahwa implementasi otonomi daerah telah kebablasan. “Bahkan ada sejumlah pemda yang tidak tepat menyikapi kewenangannya, misalnya dengan membuat perda tentang retribusi. Padahal dengan itu, justeru membuat investor batal menanamkan modalnya,” ujar Panani.
Dalam hal ini, lanjutnya, peran LAN sangat strategis dan perlu membuat kajian-kajian sebagai masukan kepada pemerintah, maupun DPR, terutama untuk memebrikan masukan dalam pembahasan revisi UU No. 32/2004 tentan Pemerintah Daerah.
Bagi Sarwono Kusumaatmadja, LAN sebenarnya merupakan salah satu LPNK yang berbeda dengan LPNK lain. Namun, perlu dicari daya ungkit (leverage) agar LAN memiliki daya saing yang kuat dalam bursa kebijakan pemerintah.
Menanggapi hal itu, Panani mengatakan, LAN perlu melakukan kajian sesuai kebutuhan, sesuai isu yang berkembang. “Kalau itu yang dilakukan, tentu hasil kajiannya akan dipakai orang,” ujarnya. Selama ini, lanjutnya, banyak kajian yang bersifat rutinisme, tidak sesuai isu yg berkembang, jadi kurang bermanfaat. Untuk itu, perlu dicari terobosan, dengan sistem jemput bola, tanya ke stakeholders, instansi-instansi pemerintah. Misalnya, sistem penganggaran, sistem perpajakan yang belakangan jadi isu menarik.
Dicontohkan, dulu LAN pernah melakukan kajian tentang Waskat, prosedur ekspor impor di bea cukai, juga kajian hari kerja, yang dulu kerja sampai sabtu. Kalau konteksnya seperti ini, banyak pihak yang bisa merasakan dampaknya, dan hal-hal itu ditunggu oleh masyarakat.
Terkait dengan itu, Edi Purwanto mempertanyakan masalah disharmoni pusat dan daerah. Di lain pihak, banyak pimpinan daerah yang mengikuti diklatpim, tapi puluhan pimpinan daerah juga masuk penjara. “Siapa yang salah dalam hal ini?” sergahnya.
Menurut Panani, hal itu terjadi karena sistemnya yang belum bagus. Karena itu perlu memasukkan hal-hal yang perlu di-insert untuk meminimalisir terjadinya penyimpangan. Misalnya dengan memasukkan etika dan integritas dalam diklat. Meskipun demikian, lanjutnya, penyalahgunaan wewenang itu tak akan mungkin hilang 100 persen.
Sofyan Effendi menilai, kalau masih mau melakukan kajian-kajian terus, maka Indonesia makin ketinggalan dengan negara lain. Terlebih adanya desentralisasi yang berlebihan, seolah pusat hanya punya 6 kewenangan, 31 ada di daerah, terbanyak di kabupaten/kota. “Apa yang perlu dilakukan LAN terhadap kasus ini?” sergahnya.
Menanggapi hal itu, Panani mengatakan perlunya memberikan pemahaman kepada pimpinan daerah, untung ruginya desentralisasi. Dalam kaitannya denga revisi UU No. 32/2004, Panani mengungkapkan bahwa keterlibatan LAN kurang maksimal. “Ada hasil kajian onomi daerah, tapi memang kurang kedengaran, karena sosialisaisnya kurang,” utambahnya.
Fokus pada tiga fungsi utama
Sudarsono Hardjosoekarto, Dirjen Kesatuan Bangsa dan Politik Kemendagri dalam paparannya antara lain mengatakan, reformasi birokrasi di tingkat makro dan messo bisa terkendala implementasi di tingkat mikro. Pasalnya, tidak banyak kompetensi pimpinan daerah yang seperti Jokowi (Walikota Solo). “Kapabilitas kepemimpinan di tingkat daerah sangat penting terutama di tingkat mikro,” ujarnya.
Menurut dia, kalau RB mau bagun birokrasi kelas dunia, maka LAN juga harus berkelas dunia. Sayangnya, tidak lebih dari 5 persen kajian LAN yang berkelas dunia.
Menanggapi pertanyaan Edi Purwanto terkait usulan LAN dalam revisi UU No. 32/2004, Darsono mengatakan harus ada sinkronisasi UU Pemda, UU tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, serta UU tentang Aparatur Sipil Negra (ASN). Sebab urusan personil paling banyak diserahkan daerah.
Sebenarnya, kalau mengikuti Grand Design Reformasi Birokrasi, konsepnya sudah bagus. Tetapi untuk implementasi di daerah, diperlukan pendampingan. “Untuk menggarap kepemimpinannya,dapat dilakukan melalui diklat model baru,” tambahnya.
Diakuinya, sebelum adanya grand design reformasi birokrasi sudah banyak daerah yang melakukan langkah-langkah reformasi birokrasi dengan cara dan karakteristik masing-masing. Meskipun demikian, pendekatan reformasi birokrasi sekarang ini tetap cocok diterapkan di daerah. “Grand design tinggal diteruskan dan diperdalam,” tambahnya.
Dalam kaitannya dengan restrukturisasi organisasi LAN, Darsono mengatakan bahwa ke depan yang paling penting menekankan pada tiga fungsi utama, yakni litbang, diklat, dan konsultasi.
Nanat Fatah Natsir, Rektor UIN Bandung yang merupakan salah satu kandidat Kepala LAN mengungkapkan, perlu revitalisasi LAN dalam sistem diklat aparatur, baik tenaga pengajar maupun kurikulum yang harus terintegrasi antara imtak dan Iptek. Dalam hal ini, rekuitmen pengajar harus selektif.
Selain itu dikatakan juga perlunya dibangun paradigma bahwa aparatur yang mengikuti diklat merupakan manusia pilihan, sehingga menjadi kebanggaan. “Tidak semua pegawai bisa masuk diklat, terutama diklat penjenjangan. Lulusan diklat LAN harus menjadi pegawai yang unggul, dan ketika menjadi pemimpin betul-betul memiliki visi,” ujarnya.
Ditambahkan, diklat LAN harus mampu menjadi pengawas lembaga diklat yang ada di kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. LAN diharapkan menjadi dapur, dalam hal menggodok aparatur agar memiliki integritas, trampil dan profesional.
LAN juga diharapkan mampu mengkaji UU atau peraturan yang ada terutama yang menghambat dunia usaha. Kalau perlu LAN harus pro aktif dalam setiap pembahasan RUU di DPR, jangan hanya kalau diminta, sehingga bisa menghindari tumpang tindih. “Budaya yang harus dibangun adalah bekerja adalah mengabdi, martabat baik, tugas melayani, etos kerja tinggi dan kejujuran,” tambah Nanat. (ags/swd/HUMAS MENPAN-RB)