Tradisi Grebeg Syawal yang digelar di lingkungan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Rabu (05/06).
YOGYAKARTA - Tujuh gunungan berisi hasil bumi dikawal pasukan berkuda Keraton Yogyakarta pada Hari Raya Idulfitri 1440 Hijriah, Rabu (05/06). Tradisi turun temurun ini adalah wujud syukur 'ngarso dalem' berakhirnya masa puasa di bulan Ramadan. Tradisi yang dinamakan Grebeg Syawal menjadi bagian dari nilai historis Daerah Istimewa Yogyakarta. Setiap tahun, pada 1 Syawal atau bertepatan dengan Hari Raya Idulfitri, tradisi tersebut digelar berupa upacara adat di lingkungan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Gunungan ini dilepas melalui prosesi iring-iringan prajurit kraton yang menjadi daya tarik tersendiri. Tradisi ini juga telah berlangsung selama ratusan tahun. Sebelum diberikan kepada rakyat, gunungan tersebut diarak terlebih dahulu mulai dari Pagelaran Keraton Yogyakarta menuju halaman Masjid Agung (Masjid Gedhe) di Kauman yang berjarak kurang lebih 1 km. Di masjid ini, Kyai Penghulu diikuti para ulama keraton beserta para abdi dalem akan memanjatkan doa-doa kebaikan, kesejahteraan, kemakmuran dan kebahagiaan serta keselamatan bagi keluarga sultan beserta rakyatnya dan nusa bangsa pada umumnya.
Prosesi keluarnya gunungan dalem baru dimulai pukul 10.00 WIB, usai salat Ied. Ribuan orang sudah berduyun-duyun mendatangi Alun-alun Utara, tempat berlangsungnya upacara grebeg gunungan.
Usai berdoa, gunungan kemudian dilepas untuk diperebutkan oleh masyarakat. Inilah bagian yang menarik turis dan dianggap paling 'seru'. Masyarakat berjibaku mendapat bagian hubungan sebanyak mungkin. Namun, pada hakikatnya, bukan seberapa banyak makanan yang diperebutkan, tapi keberkahan serta manfaat dari hasil bumi itu. Itulah grebeg. Sebuah akulturasi budaya dan tradisi para leluhur yang masih dijaga kelestariannya oleh Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat hingga kini.
Pengageng Kawedanan Pengulon, KRT Akhmad Mukhsin Kamaludin Ningrat, mengatakan, tradisi ini merupakan wujud syukur dan sedekah dalam bentuk hasil pertanian. Tradisi grebeg ini adalah simbol hajat dalem yang bermakna sebuah bentuk kedermawanan sultan kepada rakyatnya. Pada hari-hari grebeg itu, Sultan berkenan memberikan sedekah berupa makanan dan berbagai hasil bumi lainnya yang disusun tinggi seperti gunung.
"Yang memang berkah itu sesuatu yang sudah didoakan itu insya Allah mempunyai nilai lebih. Tapi kalau makanan sudah di doain, manfaatnya jauh lebih besar insya Allah, harapan kita seperti itu," ujar KRT Akhmad Mukhsin, seperti dilansir krjogja.com.
Lima gunungan dibawa ke Masjid Gedhe Kauman, satu dibawa ke Pura Pakualaman, dan satu lagi dibawa ke Kantor Kepatihan. "Kalau dari Keraton sendiri mengeluarkan tujuh Gunungan. Lima untuk di Masjid Gedhe, satu untuk Pakualaman dan Kepatihan," pungkasnya. (don/HUMAS MENPANRB)