Menteri PANRB Yuddy Chrisnandi
JAKARTA - Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Yuddy Chrisnandi mendatangi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi di Jakarta, Jumat (18/3). Kedatangan Yuddy tersebut untuk mendukung KPK terkait penyelenggara negara yang belum menyerahkan laporan harta kekayaannya ke KPK.
"Kedatangan kami ke sini yang paling utama yaitu untuk menegaskan bahwa pemerintah siap membantu KPK menjalankan tupoksinya. Kita siap bantu, misalnya perintahkan penyelenggara negara melaporkan harta kekayaannya," kata Yuddy.
Dalam pertemuan tersebut, Yuddy didampingi Sekretaris Kementerian PANRB Dwi Wahyu Atmaji, Kepala Biro Hukum dan KIP Kementerian PANRB Herman Suryatman, dan Inspektur Kementerian PANRB Devi. Sementara itu, Yuddy disambut oleh Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dan Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan.
Yuddy mengatakan, Kementerian PANRB akan mengeluarkan Surat Edaran yang ditujukan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian dalam hal ini Bupati dan Walikota untuk menginstruksikan kepada Sekretaris DPRD Kabupaten/Kota agar mempercepat penyerahan LHKPN anggota DPRD kepada KPK. Karena berdasarkan data KPK, 90 ribu wajib LHKPN belum menyerahkan laporan dan 75 persen diantaranya adalah anggota DPRD.
Selain itu, Kementerian PANRB akan mengeluarkan sanksi administratif bagi penyelenggara negara wajib lapor LHKPN yang berasal dari Aparatur Sipil Negara. Yuddy mengatakan, dari pejabat eksekutif di tingkat pusat 70 persen sudah melaporkan harta kerkayannya, sedangkan 30 persen yang belum melaporkan.
Yuddy mengatakan, hal ini menjadi tugas Kementerian PANRB untuk memaksa mereka melaksanakan kewajiban mereka. Karena pemerintah memiliki komitmen menyelenggaran pemerintahan yang bebas korupsi.
"Kami akan keluarkan SE terkait sanksi administratif. Kalau 30 persen dari 400 pejabat eksekutif kira-kira 120 orang, data itu yang akan kami minta pada KPK, siapa saja pejabat eksekutif yang tidak melaksanakan kewajiban sehingga tidak mencoreng pemerintah," kata Yuddy.
Dalam kesempatan itu, Yuddy juga menegaskan untuk memperkuat aparatur pengawasan internal pemerintah (APIP). Dikatakan, APIP akan bersifat vertikal dengan komando langsung berasal dari atas pimpinan untuk mengawasi pelaksanaan di daerah.
"Saya berpikiran untuk melakukan bench mark KPK dengan BPKP dalam rangka the shadow of aparatur pengawas internal. Sehingga di K/L semua orang bisa melakukan pencegahan," kata Yuddy.
Sementara itu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyambut baik dukungan pemerintah melalui Kementerian PANRB. Dia mengaku kesulitan mengenai penyelenggara negara, dalam hal ini DPRD yang merasa tidak perlu melaporkan harta kekayaan.
"Di UU memang hanya DPR yang disebutkan, tapi kalau KPK karena disebut penyelenggaran negara maka DPRD kita sebut. Kita minta bantuan Menpan untuk klarifikasi, maksud penyelenggara negara yang legislatif DPR dan DPRD. Karena saya temui di daerah dia bilang tidak masuk sebagai penyelenggara negara," kata Alex.
Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan memaparkan, KPK memiliki 288 ribu yang disebut wajib lapor LHKPN. Wajib lapor tersebur dibagi menjadi dua yaitu wajib lapor pertama kali dan wajib lapor yang harus update laporannya.
"Memang agak merepotkan kalau satu orang dalam satu tahun pindah 3 kali jabatan maka harus 3 kali lapor. Kita ada datanya mana yang lapor pertama, yang sudah ada update dan yang tidak," kata Pahala.
Berdasarkan data KPK, yang sudah melapor dan melakukan update 41 persen yaitu sekitar 118 ribu orang. Kemudian, 27 persen atau 79 ribu orang belum mengupdate. Terakhir, 31 persen belum pernah lapor sekitar 90 ribu orang. "Kebanyakan yang belum lapor disumbang oleh legislatif, dan 75 persen dari DPRD yang belum lapor," Pahala.
Dia mengakui, laporan yang dikutip media terkait LHKPN para menteri salah. Karena 100 persen menteri sudah melaporkan harta kekayaannya. "Kami akui, data yang dipakai media itu yang sudah dirilis di web KPK dan itu kebanyakan datanya telat selama tahunan. Karena sebelum datanya dirilis kami juga harus melakukan koreksi dan menyampaikannya, jadi data itu telat selama bertahun-tahun. Kami akan sampaikan ke media bahwa data itu belum valid," kata Pahala. (ns/HUMAS MENPANRB)