Dosen Ilmu Sosial Universitas Brawijaya Wawan Sobari saat menjadi Tim Panel Independen KIPP 2019 di Kantor Kementerian PANRB, Jakarta, Rabu (10/07).
JAKARTA - Tidak semua inovasi yang diciptakan instansi pemerintah diketahui oleh masyarakat, sehingga sering timbul kesan bahwa pemerintah tidak tanggap pada permasalahan yang ada. Permasalahan tersebut dilatarbelakangi oleh minimnya pengetahuan masyarakat terhadap inovasi yang dilahirkan pemerintah. Padahal, di era revolusi 4.0, instansi pemerintah bisa lebih mudah menyebarluaskan inovasi melalui media sosial.
Hal ini disampaikan anggota Tim Panel Independen Wawan Sobari usai menjadi juri Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (KIPP) 2019. “Caranya lewat media massa, baik itu media massa mainstream maupun lewat media sosial, jadi bisa di-share-kan di YouTube kemudian diviralkan dan sebagainya. Jadi menurut saya ada banyak sekali caranya,” ujar Wawan, di Kantor kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Jakarta, Selasa (09/07).
Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet di Indonesia per April 2019, ada 171,17 juta jiwa dari total penduduk sebanyak 264 juta jiwa. Dari jumlah pengguna internet di Indonesia itu, 88 persen aktif mengakses YouTube. WhatsApp menjadi media sosial kedua yang paling banyak diakses dengan pengguna mencapai 83 persen. Sementara Facebook dan Instagram berada di posisi ketiga dan empat, dengan jumlah pengguna 81 dan 80 persen.
Banyaknya pengguna media sosial di Indonesia, dapat menjadi peluang bagi instansi pemerintah untuk menyebarluaskan informasi mengenai inovasi yang memudahkan masyarakat. Selain melalui media massa dan media sosial, Wawan mengungkapkan pemerintah dapat menyebarluaskan informasi mengenai inovasi yang ada di daerahnya dengan berbagai cara.
“Misalnya dengan membentuk forum scaling up, forum replikasi, maupun forum berbagi pengetahuan,” jelas Wawan. Salah satu contohnya adalah dengan membangun Jaringan Informasi Pelayanan Publik (JIPP) yang telah diterapkan di beberapa provinsi, seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan.
Dosen Ilmu Sosial Universitas Brawijaya ini juga menambahkan hal terpenting selain melakukan diseminasi inovasi adalah membangun kesadaran masyarakat mengenai manfaat inovasi yang telah dibuat. “Yang penting itu adalah sebenarnya bukan sekedar diseminasi, tapi juga memberikan kesadaran kepada masyarakat maupun kepada pemerintah tentang pentingnya inovasi sebagai salah satu cara pemerintah maupun masyarakat untuk menyelesaikan masalah,” imbuh Wawan.
Terkait inovasi yang masuk dalam Top 99, Wawan menilai munculnya inovasi yang melibatkan masyarakat menjadi harapan baru bagi terbentuknya kolaborasi antara pemerintah dengan publik. Pada hari keenam presentasi dan wawancara KIPP 2019, muncul sejumlah inovasi yang melibatkan masyarakat. Misalnya, Barisan Sukarela Kebakaran (Balakar) menuju Response Time milik Pemkab Cilacap, One Client One Kader (Oce Oke) yang diciptakan oleh Pemkab Banjarnegara, dan Gerakan Kembali Bersekolah (GKB) Atasi Anak Tidak Sekolah dari Pemkab Brebes.
Dengan inovasi yang melibatkan masyarakat, akan meningkatkan public value atau nilai kemanfaatan bagi publik. Partisipasi dari berbagai elemen masyarakat diharapkan bisa menginspirasi penyelenggara pelayanan publik untuk memperkuat inovasi dengan dasar hukum. “Permasalahan yang tidak bisa sepenuhnya selesai hanya dengan instrumen pemerintah, dapat selesai dengan adanya kerja sama antara pemerintah dengan masyarakat,” pungkasnya. (rum/don/HUMAS MENPANRB)