Pin It

Profil Menteri Yuddy

Mungkin orang belum lupa, ada kejadian menarik saat paripurna DPR RI tentang penggunaan hak angket terhadap kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM yang digelar 24 Juni 2008.  Saat itu, dinamika politik demikian tinggi di DPR antara partai partai pendukung kebijakan kenaikan BBM oleh pemerintah SBY-JK dengan partai yang menolak.  Hasilnya, dari 360 anggota DPR yang hadir, 233 orang mendukung penggunaan Hak Angket. Sementara, 127 orang, mayoritas dari partai Golkar dan Demokrat pendukung pemerintah SBY - JK, tidak setuju. Tapi, ada satu anggota DPR RI Partai Golkar yang setuju dengan penggunaan hak angket, yaitu Yuddy Chrisnandi. Dia dengan lantang berdiri sebagai tanda mendukung. Sementara, sesuai 'arahan' pimpinan partainya, kawan-kawan separtainya duduk, menandakan penolakan penggunaan hak DPR tersebut terhadap kebijakan kenaikan BBM pemerintah SBY-JK. Kejadian ini, tentu menghebohkan jagat politik nasional. Maklum saja, dengan mendukung penggunaan hak angket, artinya sikap Yuddy Chrisnandi berlawanan dengan garis partai. Dan tentu, menjadi perhatian ketua umumnya yang juga Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla.  Sementara itu, yang memimpin rapat Paripurna DPR tersebut adalah Agung Laksono, Ketua DPR yang juga Wakil Ketua Umum Partai Golkar partai tempat Yuddy Chrisnandi saat itu bernaung. Tak urung, setelah kejadian tersebut, Yuddy diberikan sanksi peringatan oleh ketua umumnya. Orang bertanya, apakah Yuddy kapok dan takut dengan adanya sanksi tersebut? Belakangan diketahui, dia tidak pernah kapok atau takut. Karena, menurutnya, berpolitik tetap mengikuti hati kecil dan keyakinan akan kebenaran. Legasi Generasi Muda
Yuddy bahkan melangkah lebih jauh lagi. Saat suksesi kepemimpinan Partai Golkar tahun 2009, tak tanggung-tanggung, mencalonkan diri menjadi ketua umum. Dia menyatakan sebagai tokoh alternatif mewakili generasi muda di Golkar.  Teman-temannya, bahkan agak terkejut sehingga memanggilnya Yuddy dengan panggilan Kang YCh sang Caketum Golkar.  Tentu saja, langkahnya tersebut mendatangkan kritikan sekaligus cibiran kepada dirinya. Bagaimana tidak, dia melawan tokoh-tokoh yang saat itu dianggap 'kelas atas', yaitu Aburizal Bakrie dengan triple A-nya (Aburizal, Akbar Tanjung, dan Agung Laksono) yang didukung pemerintah SBY.  Sisi lain, ada calon yang juga dianggap kuat yaitu Surya Paloh yang didukung tokoh senior Golkar.  Bagi banyak kalangan, langkah Kang YCh dianggap sia-sia. Tidak mudah bagi politisi kelahiran 1968 melawan senior di partai yang senioritas dan 'urut kacang' menjadi pertimbangan politik. Hasilnya? Sekali lagi, Yuddy mematahkan anggapan saingan-saingan politiknya. Dukungan terhadap dirinya bergulir cepat terutama di kalangan anak-anak muda.  Sebut saja, misalnya Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok, saat itu adalah Anggota DPR dari Golkar yang duduk Komisi II (kini Gubernur DKI Jakarta), adalah pendukung setia YCh menjadi ketua umum Golkar.  Sejak itu, namanya justru disetarakan dengan tokoh senior Golkar, seperti Agung Laksono, Aburizal Bakrie, bahkan Jusuf Kalla, yaitu sebagai orang yang pernah dicalonkan menjadi ketua umum Golkar. Walau Yuddy tidak berhasil menjadi ketua umum Golkar, bahkan banyak pendukungnya yang masuk 'kotak' alias tidak diberi posisi, tapi sejarah mencatat, langkahnya memunculkan kesadaran, bahwa dalam panggung politik, anak muda bisa eksis bersaing secara etis dengan 'para senior'. Itulah yang kemudian telah berhasil diwarisi Kang YCh. Dia sendiri kemudian hijrah ke partai yang dianggap lebih memberikan ruang untuk berkiprah, yaitu partai besutan Jenderal Wiranto, Hanura.  Kerja di Kabinet Kerja
Saat pidato pelantikan Presiden 20 Oktober 2014, yang berjudul "Di Bawah Kehendak Rakyat dan Konstitusi," Presiden Jokowi mengatakan, "Pemerintahan yang saya pimpin akan bekerja untuk memastikan setiap rakyat di seluruh pelosok Tanah Air, merasakan kehadiran pelayanan pemerintahan...." Kalimat ini, tentu bukan tanpa maksud. Presiden Jokowi berhasil memenangkan pemilu, karena keinginan rakyat akan adanya perubahan termasuk perubahan yang mendasar pada birokrasinya. Ketika Yuddy Chrisnandi ditunjuk sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur negara dan Reformasi Birokrasi beberapa kalangan mempertanyakannya. Bagaimana tidak, Yuddy Chrisnandi kini menjadi menjadi panglima dalam perubahan di kalangan birokrat yang dikenal sangat legalistik formal, sementara dia adalah politisi yang sering melakukan terobosan. Tapi, dia menjawab dengan tindakan. Sejak hari pertama, melakukan berbagai gebrakan mulai dari keteladanan melakukan penghematan uang negara, inspeksi mendadak (sidak) untuk memastikan pelayanan publik berjalan baik, hingga merumuskan Revolusi Mental dan Nawacita Presiden Jokowi di kalangan Aparatur Sipil Negara.  Dan yang mengejutkan, walaupun sudah menjadi menteri sampai saat ini, ternyata masih banyak orang sering berjumpa dengan Kang Yuddy saat berada di Commuter Line Jakarta. Karena, tetap merasa bagian dari generasi muda yang sederhana.  Akhirnya, upaya keteladanannya berhasil. Dukungan pun berdatangan, dari berbagai kalangan mulai dari paguyuban masyarakat, asosiasi profesi, hingga pelaku usaha untuk percepatan reformasi birokrasi terutama di tahun kedua Pemerintahan Jokowi-JK.  Permasalahan Birokrasi
Dalam orasi ilmiah pengukuhan sebagai Profesor (23/5/2015), yang berjudul "Pembangunan Ekonomi Industri dan Kebijakan Publik untuk Kesejahteraan Rakyat", Prof Yuddy, panggilan terkini Yuddy Chrisnandi, mengatakan, "Kebijakan publik yang dilaksanakan oleh birokrasi pemerintah, fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah pelayanan publik." Hal ini dilakukan negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas orang banyak. Negara mempunyai kewajiban menyediakan pelayanan publik dengan hak untuk menarik pajak dan retribusi. Jelas, Prof Yuddy, sangat paham bahwa birokrasi dibiayai pajak dari keringat rakyat. Dia tidak henti-henti meminta jajaran birokrasi untuk senantiasa melakukan penghematan dan efisiensi, termasuk dalam hal penggunaan uang dan fasilitas negara.  Identifikasi Hambatan dan Tantangan
Sebagai anggota DPR Komisi I 2004-2009 yang lama berkecimpung dengan dunia intelijen, tentu Prof Yuddy paham siapa-siapa yang 'bermain' dalam sistem, permainan apa yang sedang dijalankan.  Dia mengerti dalam suatu perubahan ada kelompok yang 'terganggu'. Untuk itu, terlihat, di tahun pertama kerjanya, banyak meletakkan fondasi kebijakan dan melakukan "fact finding" dan "monitoring". Setelah tahun pertama berhasil meletakkan fondasi, di tahun kedua, tampaknya dia akan mencoba menjawab keinginan masyarakat akan adanya percepatan reformasi birokrasi menuju birokrasi berkelas global.  Fondasi Tahun Pertama, Ngebut di Tahun Kedua
Di tahun kedua ini, diyakini Menteri Yuddy tidak akan lagi melakukan toleransi terhadap hambatan reformasi birokrasi. Karena Kebutuhan akan rekrutment aparatur yang fair dan terbuka, kesejahteraan birokrat, jenjang karir yang baku, dan pengawasan menuju birokrat yang melayani rakyat, semakin mendesak.  Terlebih, masyarakat mendukung jika Menteri Yuddy bersikap lebih keras terhadap oknum aparatur atau siapapun yang dinilai masih belum bisa menyesuaikan dengan perubahan ke arah perbaikan, termasuk menyesuaikan diri dengan semangat antikorupsi.  Jika memang terjadi pelanggaran maka, di tahun kedua ini, dituntut untuk lebih keras dengan memberikan sanksi administratif. Dan jika terbukti ada unsur pidana, maka harus dipidanakan. Pemimpin Otentik
Setelah setahun bekerja sebagai pembantu Presiden Jokowi, Menteri Yuddy lagi-lagi menyampaikan pernyataan yang menarik.  Dia menyatakan, saat ini Indonesia menghadapi tantangan-tantangan global. Tak hanya itu, isu pangan, gender, ledakan penduduk, kemiskinan, ketergantungan, dan ketimpangan hukum, juga menghantam negara ini. Dengan adanya berbagai permasalahan dan tantangan yang ada, Indonesia membutuhkan pemimpin yang otentik.  Pemimpin yang otentik, ungkap Menteri Yuddy, adalah pemimpin yang bisa menyelesaikan persoalan secara masif (Yogyakarta, 3/11).  Dari pernyataan tersebut, jelas dia mengkritik orang-orang yang mengklaim jargon dan retorika, bahwa reformasi birokrasi telah berhasil.  Bagi Menteri Yuddy, yang mengukur keberhasilan reformasi birokrasi, bukanlah birokrat itu sendiri, melainkan publik.  Mengingat harapan rakyat sangat tinggi, dia mengajak partisipasi publik dari pengusaha hingga mahasiswa untuk aktif membantu terwujudnya birokrasi berkelas global, Wallahuallam bissawab. (Sony Harlan Soemarsono)