Para Menteri PANRB berkangen-kangenan, sebelum pertemuan berlangsung. (Foto :rr)
JAKARTA – Masalah pengangkatan tenaga honorer kategori 2 menjadi isu yang paling mengemuka dalam acara reuni Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Selasa (23/02). Ada yang mempertanyakan asal mula, sampai saran agar pemerintah lebih bersikap tegas. Sebab pengangkatan tenaga honorer sebenarnya sudah melanggar aturan.
Pada umumnya, para Menteri PANRB terdahulu mendukung sikap Menteri Yuddy dalam penanganan tenaga hoorer kategori 2. Freddy Numberi misalnya, mengatakan agar pemerintah pusat tegas. Sebab selama ini, kecenderungan pengangkatan tenaga honorer dilakukan oleh pemerintah daerah. “Namun kemudian masalah tenaga honorer dibebankan ke pemerintah pusat,” ujarnya.
Berdasarkan pengamatannya, banyak kepala daerah mengangkat tenaga honorer yang merupakan anggota keluarga atau anggota tim suksesnya pada saat kampanye pilkada. "Ini juga harus dibuka ke DPR, agar anggota DPR tahu rekruitmen yang dilakukan pemerintah daerah membuat kesulitan karena tidak mengikuti pola pemerintah pusat.,” ujarnya.
Putra Papua ini juga menyarankan agar pemerintah membuka ruang bagi pengangkatan tenaga guru dan dokter sebagai pegawai kontrak,yang dibiayai dari APBD masing-masing daerah. Jadi tidak membebani APBN, dan di sisi lain kebutuhan pegawai di daerah bisa teratasi.
Hal senada diungkapkan Azwar Abubakar, yang semasa menjabat sebagai Menteri PANRB banyak berhubungan dengan urusan tenaga honorer, baik kategori 1 maupun kategori 2. Baginya, keberadaan honorer K2 itu sudah selesai setelah dilakukannya tes pada tahun 2013 silam.
Menurut Azwar, sesuai kesepakatan dengan Komisi II DPR, pemerintah hanya akan mengangkat sekitar 30 persen dari peserta tes yang lulus tes. Kesepakatan itu juga sudah dipahami oleh tenaga honorer kategori dua, khususnya para pegurus Forum Honorer Kategori 2.
Azwar juga sependapat dengan Freddy yang mengatakan agar pemerintah pusat tidak harus menerima tindakan yang dilakukan oleh pejabat daerah, yang telah melakukan rekrutmen terhadap tenaga honorer. “Honorer ini kan dosa dari pejabat daerah, tetapi dosanya dilimpahkan ke pusat,” ujarnya berseloroh.
Sementara Taufiq Effendi menilai, salah satu persoalan yang dihadapi Kementerian PANRB karena Kemenetrian ini tidak memiliki orang di daerah. Meskipun punya kebijakan, tetapi dipastikan bahwa seluruh pegawai di daerah hanya akan melaksanakan perintah kepala daerahnya.
Menurutnya, hal itu juga menimpa kasus pengangkatan tenaga honorer. Meskipun dalam PP No. 48/2005 pemerintah sudah melarang kepala daerah mengangkat pegawai honorer, tapi mereka tetap melakukannya. “Kita harus punya orang di daerah, tetapi bukan pegawai daerah,” tuturnya.
Dua menteri terdahulu, yakni JB Sumarlin dan Hartarto cukup terperanjat dengan berkembangnya isu pegawai honorer. Sebab di eranya, hal tersebut belum mengemuka menjadi isu seperti belakangan ini, dan tidak sedikit yang telah menyeretnya ke ranah politik.
Sumarlin dan Hartarto, perlu dicari tahu bagaimana asal-usul munculnya pegawai honorer di daerah itu sendiri. Kalau memang pemerintah sudah melakukan hal yang benar, dan sesuai dengan peraturan perundangan, menurutnya, pemerintah tidak selalu harus mengikuti kehendak DPR.
Akan halnya dengan Anwar Supriyadi, yang mengaku menjadi Menteri PAN sebagai sebuah ‘kecelakaan’. Dia mengatakan, sebenarnya pengangkatan tenaga honorer oleh kepala daerah itu sendiri merupakan pelanggaran. “Tetapi apakah sudah pernah dilakukan tindakan hukum terhadap pelanggaran itu,” ujarnya.
Menurut mantan Dirjen Bea Cukai ini, pemerintah perlu mengambil tindakan hukum terhadap pelanggaran ini, sehingga para kepala daerah bisa memahami bahwa tindakan mengangkat tenaga honorer itu salah. Kalau hal ini terus berlangsung, menurutnya akan melemahkan wibawa pemerintah, dan tujuan reformasi birokrasi sulit dicapai.
Dalam hal ini, Anwar mendorong perlunya leadership yang kuat, sehingga akan diikuti oleh jajarannya. Dia juga menilai bahwa diklatpim selama ini harus diperbaiki, agar lahir pemimpin pemerintahan di daerah yang kuat. (ags/HUMAS MENPANRB)