Deputi SDM Aparatur Kementerian PANRB Setiawan Wangsaatmadja dalam Seminar Nasional Netralitas ASN dalam Pilkada Serentak, di Jakarta, Rabu (20/04)
JAKARTA - Sebanyak 56 Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diduga melakukan pelanggaran netralitas dalam Pilkada Serentak tahun 2015 lalu, saat ini dalam proses penetapan hukuman. Pemerintah berharap, dalam Pilkada serentak tahun 2017, jumlah laporan pelanggaran netralitas ASN dapat berkurang, dan tidak ada sama sekali pada Pilkada Serentak Tahun 2018.
Demikian disampaikan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Yuddy Chrisnandi yang disampaikan oleh Deputi SDM Aparatur Kementerian PANRB, Setiawan Wangsaatmadja dalam pembukaan Seminar Nasional Netralitas ASN dalam mewujudkan Pilkada Serentak 2017, di Jakarta, Rabu (20/04). “Marilah kita semua yang terlibat dalam Pilkada, berupaya sungguh-sungguh untuk mewujudkannya,” ungkapnya.
Diakuinya, penyelenggaraan Pilkada serentak tahun 2015, masih menyisakan permasalahan dengan banyaknya pengaduan terkait netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN). Namun pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan Pilkada dan menjaga integritas ASN agar tidak menjadi alat politik untuk mencapai satu kepentingan golongan atau pihak tertentu. “Pemerintah selalu berupaya agar pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2017, tahun 2018 dan seterusnya akan berlangsung lebih berkualitas dan berintegritas. “Tujuannya, tak lain dan tak bukan agar lahir para Kepala Daerah, calon-calon pemimpin bangsa yang berkualitas, bermoral, berintegritas, dan pro kepada rakyat,” ujarnya di Jakarta, Rabu (20/04).
Perhatian lebih serius dari dalam Pilkada kali ini adalah integritas ASN yang acap kali masih tidak netral. ASN dalam roda birokrasi kerap digunakan sebagai mesin politik karena posisinya yang strategis untuk mobilisasi suara hingga mempengaruhi masyarakat. Bahkan lebih ektrim lagi ketika terbit sebuah kebijakan yang tidak adil dan memihak salah satu kandidat.
Dikatakan, Undang-Undang No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara secara tegas telah mengatur netralitas birokrasi dan larangan politisasi birokrasi. UU tersebut memperkuat aturan terdahulu, yaitu Peraturan Pemerintah No. 53/2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Saat ini juga sudah disusun PP baru sebagai turunan dari Undang-Undang ASN.
Ketentuan sanksi juga telah diatur dalam Pasal 7 PP no. 53/2010 terdiri dari tiga tingkatan, yaitu ringan, sedang, dan berat. Sesuai dengan Pasal 4 (12) jo Pasal 12 dan 13, pelanggaran netralitas PNS dapat dikenakan hukuman hingga pemberhentian secara tidak hormat.
Berdasarkan Pasal 2 UU ASN yang salah satunya berisikan asas Netralitas, bertujuan agar setiap ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepentingan siapapun. Lebih tegas lagi, pada Pasal 9 (2) UU ASN, menyatakan bahwa Pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik.
Pengaturan mengenai netralitas dalam UU tentang ASN dimaksudkan untuk membentengi ASN dari intervensi politik. “Ketentuan tersebut bermakna imperative yang terlihat dari kata ‘harus’. Artinya, pegawai ASN mau tidak mau, suka tidak suka harus netral agar tidak terpengaruh dari intervensi suatu golongan dan partai politik dengan cara tidak berpolitik secara praktis,” katanya.
Namun demikian, diakui bahwa peran masyarakat untuk mengawasi setiap tahapan pilkada menjadi sangat penting. Partisipasi dan keterlibatan masyarakat menjadi salah satu kunci Pilkada yang berkualitas. “Civil Society harus mendapatkan akses sebesar-besarnya untuk mengawasi dan mendampingi proses Pilkada agar berjalan dengan jujur, transparan, adil, dan berintegritas,” tegasnya. (HUMAS MENPANRB)