JAKARTA- Reformasi birokrasi yang mengambil pilot project Departemen Keuangan, Mahkamah Agung (MA) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akan segera diikuti oleh instansi lain yang dinilai sudah siap. Meskipun belum 100 persen, tetapi ketiga instansi tersebut dinilai sudah berhasil dalam reformasi birokrasi.
Demikian dikatakan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Effendi dalam jumpa pers usai membuka Seminar Internasional Reformasi Birokrasi di Jakarta, Rabu (3/12). Acara yang diselenggarakan Kementerian Negara PAN dan Bank Dunia, GTZ, AusAID, Pemerintah Belanda dan Uni Eropa itu berlangsung 3-4 Desember.
Dikatakan oleh Menpan, salah satu contoh di Ditjen Bea Cukai sejak dijadikan pilot project, kedisiplinan dijalankan secara konsisten. Dengan aturan masuk jam 7.30, maka yang datang jam 7.35 misalnya, gaji/tunjangannya dipotong 1,25%. ”Secara sigifikan, juga terjadi peningkatan penerimaan negara dari pajak maupun bea cukai hampir mencapai 35 persen,” ujar Menteri.
Di Mahkamah Agung, lanjut Menteri, kini orang yang berperkara bisa mengetahui kapan perkaranya disidangkan, siapa hakimnya, dan sebagainya. ”Reformasi birokrasi memang butuh remunerasi yang baik sebagai salah satu upaya untuk menekan penyimpangan oleh aparatur negara,” tambahnya.
Pada dasarnya, reformasi birokrasi adalah perubahan mindset dan cultural set, dari penguasa menjadi pelayan, dari wewenang menjadi peranan, dari jabatan menjadi amanah, dari ego sektoral menjadi ego nasional, dan dari output menjadi outcome. Selain itu mengubah sistem manajemen berbasis kinerja, yang meliputi bidang tatalaksana, kelembagaan, SDM, budaya kerja dan informasi teknologi (IT).
Menteri menekankan, reformasi birokrasi merupakan proses panjang yang harus dilaksanakan secara konsisten. Sebagai contoh, China memulai reformasi birokrasi pada abad ke-11 pada jaman Dinasti Shong, dan dilakukan sebanyak 6 kali. Di Eropa, reformasi birokrasi dilakukan mulai abad ke-14, setelah belajar dari China. Sementara di Jepang dimulai sejak restorasi Meiji, dan sampai 1996 dibuat 17 undang-undang paket reformasi birokrasi.
Adapun di Indonesia, reformasi mulai bergulir tahun 1998, tetapi reformasi birokrasi secara riil baru dimulai tahun 2004, yang berarti baru berjalan 4 tahun.
Di sini, disiapkan 8 UU reformasi birokrasi, di mana saat ini salah satunya sudah disahkan menjadi UU No. 39/2008 tentang Kementerian dan Kementerian Negara. Hingga tahun 2009 nanti, diharapkan dapat dituntaskan setidaknya 3 UU lagi, yakni UU Pelayanan Publik, UU Administrasi Pemerintahan, dan UU Etika Penyelenggara Negara. Sementara 4 UU lainnya, yakni UU Kepegawaian Negara, UU Badan Layanan Umum/Nirlaba, UU Pengawasan Nasional, dan UU Tata Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah.
Keberadaan UU tersebut untuk menjamin kontinyuitas pelaksanaan reformasi birokrasi, yang harus menggunakan pendekatan holistik, bukan sepotong-sepotong, dan perlu kesungguhan, dan konsistensi.
Untuk itu diperlukan kerjasama sinergi antara semua elemen bangsa, yang sebenarnya masing-masing tujuan yang baik untuk bangsa dan negara. ”Dengan demikian hasilnya tidak kontraproduktif,” tambah Menpan.
Saat ini, juga sudah diterbitkan grand design reformasi birokrasi dalam bentuk Peraturan Menpan No.15/2008, yang merupakan cetak biru reformasi hingga tahun 2025.
Ditambahkan, reformasi birokrasi bukan berada di ruang hampa. Karena itu harus melihat kondisi obyektif negara ini. Misalnya, pegawai di Departemen Keuangan saat ini sebanyak 63 ribu orang, sementara yang dibutuhkan hanya sekitar 33 ribu. Namun kelebihan itu tidak bisa lalu dibuang, tetapi harus dididik dan dibina agar bis alebih berdaya guna. ”Misalnya diarahkan untuk menjadi penyuluh perpajakan, maupun penyuluh lain yang kebutuhannya masih sangat banyak,” tambahnya.
Menjawab wartawan, Sekretaris Kementerian Negara PAN, Tasdik Kinanto menambahkan bahwa kemajemukan yang ada di tanah air merupakan kondisi obyektif yang harus dipertimbangkan secara baik.
Misalnya, di daerah pemekaran, atau daerah terpencil, untuk mendapatkan pegawai dengan tingkat pendidikan sarjana tentu sulit. ”Karena itu, untuk tenaga pelaksana bisa saja diisi oleh lulusan SMTA plus,” ujarnya.
Humas Menpan