Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Abubakar mengatakan, perlunya dicarikan cara agar pencairan dana APBN tidak numpuk di akhir tahun. Salah satu caranya dengan menghidupkan kembali satuan tiga dalam pembahasan anggaran di DPR, sehingga tender bisa dilakukan lebih awal. Namun, sebelum APBN cair, pemenang tender belum boleh terikat kontrak.
Hal itu dikatakannya menjawab wartawan terkait dengan temuan Pusat Pelaporan Analisa Transaksi keuangan (PPATK) yang menyebutkan banyaknya PNS yang memiliki rekening gendut. “Keberadaan rekening gendut PNS itu perlu diteliti, apakah itu uang pribadi, karena penyalahgunaan wewenang, atau uang proyek yang dipindahkan ke rekening pribadinya, sambil menunggu selesainya pekerjaan,” ujarnya usai membuka acara Program Pengembangan Eksekutif Nasional (PEN) angkatan XIII di Lembaga Administrasi Negara (LAN), Jakarta Selasa (06/12). Disinyalir, karena akhir tahun uang proyek itu disimpan di rekening pribadi bendahara. Kalau itu yang terjadi, tentu merupakan kesalahan. “Bisa jadi, di beberapa proyek tidak selesai, sehingga sisanya dipindahkan ke rekening pribadi atau bendahara, dan akhir tahun baru diserahkan uangnya. Itu tak boleh terjadi,” ujarnya. Hal itu bisa terjadi, untuk proyek-proyek yang sifatnya bukan pembelian barang, tetapi pekerjaan. Kalau bulan November masih 70 persen, dan itu bukan pembelian-pembelian barang, tentu sangat sulit dikejar penyelesaiannya. Daripada berakrobat di akhir tahun, menurut dia proyek-proyek yang dibiayai APBN sudah harus mulai berjalan pada bulan Pebruari. Hal ini bisa dilakukan dengan menghidupkan kembali sistem satuan tiga yang dulu pernah dilakukan. Sebelum tahun anggaran, proyek sudah ditender, tapi sebelum ada duitnya belum boleh terikat kontrak. Hal-hal seperti ini coba kita buka lagi. “Tetapi semua harus dibicarakan dengan Menteri Keuangan, aturannya seperti apa, sehingga tidak ada temuan BPK, atau KPK,” tambahnya. Langkah seperti itu perlu dilakukan, mengingat selama ini efektivitas birokrasi pemerintah kurang optimal, lantaran ada tiga sampai empat bulan harus menunggu pencairan dana APBN. Kalau saja waktu kosong itu bisa diefektifkan, menurut Menteri, hasilnya akan sangat luar biasa. Menteri menekankan, berbagai inovasi maupun terobosan perlu dilakukan dalam percepatan reformasi birokrasi. “Kita perlu melakukan inovasi tapi jangan menabrak prinsip-prinsip akuntabiliats keuangan. Selama ini, orang takut inovasi karena takut salah,” sergah Azwar lagi. Di hadapan peserta PEN, dia mengisahkan ketika masih menjabat sebagai Wakil Gubernur Nangroe Aceh Darrussalam (NAD), menghadapi banjir besar dan tsunami. Ketika itu dia terpaksa meminjam dana kas daerah untuk membiayai bantuan kepada pengungsi korban tsunami. Hal itu dilakukan, karena bantuan itu semestinya dibayar oleh pemerintah pusat untuk 10 bulan, tetapi baru dua bulan dibayar, pembayaran bulan berikutnya macet. Akhirnya Azwar Abubakar mengambil uang kas daerah sebesar Rp 90 miliar, meskipun banyak pihak yang mengingatkan bahwa hal itu bahaya. Langkah tersebut sempat mendapat apresiasi dari Menteri Dalam negeri, waktu itu M. Maruf (alm), tetapi beliau memerintahkan agar administrasinya segera di diurus di Kementerian Keuangan. “Memang sempat ada hambatan waktu itu, tetapi akhirnya beres. Kalaupun waktu itu saya masuk penjara demi 450 ribu pengungsi waktu, rasanya wajar,” kisahnya. Penuturan itu sangat erat dengan tema yang diusung dalam acara PEN, yakni inovasi dalam penyelenggaraan negara vs akuntabilitas. Dalam hal ini Menteri menekankan bahwa keduanya merupakan tuntutan dari reformasi birokrasi, yang harus dilaksanakan secara beriringan. Menteri mengatakan, dalam situasi reformasi birokrasi saat ini, terkesan masih biasa-biasa saja. Padahal, reformasi itu hanya beda tipis dengan revolusi. Di daerah, hamper 70 persen APBD dipakai untuk belanja pegawai. Bahkan ada yang mengatakan, 3 persen orang (PNS) makan 60 persen uang negara. Hal ini sangat ironis, manakala ada kenyataan bahwa pegawi tidak melayani masyarakat, tidak ramah terhadap investasi. “Keadaan ini yang mengharuskan iniovasi. Ini dosa, kalau tidak lakukan pebaikan. Masa tinggal 4 persen uang Negara untuk infrastrutur. Kapan berubah,” sergahnya. Menteri prihatin dengan kenyataan di mana sebagian besar pegawai di daerah tidak melalui seleksi yang benar. Ada yang harus bayar Rp 60 juta per orang. Hal ini tidak bisa dibiarkan. Di pihak lain, ada pembanding, yakni calon mahasiswa yang mau masuk PTN harus mengikuti seleksi secara fair. “Saya usul ke Pak Wapres, ke depan kita bikin konsorsium perguruan tinggi untuk bikin ujian CPNS. Tapi hasilnya jangan dikasih ke bupati, walikota atau Gubernur. Setelah lulus baru diumumkan.” ujarnya Jangan sampai rekrutmen yang dilaksanakan dengan baik itu dirusak oleh kepentingan tertentu. “Kalau sudah dimasak bagus-bagus, kemudian dicolok pakai tangan, nanti basi makanannya,” tambah Azwar. (HUMAS MENPAN-RB)