JAKARTA – Masyarakat Indonesia tentunya sudah tidak asing terhadap makanan berbahan dasar kedelai, yakni tahu dan tempe. Walaupun terbilang prioritas nasional, nyatanya produktivitas hasil panen kedelai lokal masih rendah dan cenderung didominasi oleh kedelai Genetically Modified Organism (GMO) atau transgenik yang keamanannya sebagai bahan pangan manusia masih diperdebatkan.
Sebagai salah satu daerah dengan kedelai sebagai komoditas unggulan, Pemerintah Kabupaten Grobogan membangun Rumah Kedelai Grobogan (RKG) sejak Agustus 2013, untuk meningkatkan produktivitas kedelai. RKG merupakan unit terpadu wadah pembelajaran agrobisnis kedelai lokal sebagai upaya untuk meningkatkan pemanfaatan kedelai lokal agar kompetitif dan dapat menjadi pengungkit produksi kedelai nasional.
“Dengan adanya RKG, produksi kedelai meningkat, munculnya penangkar benih baru, serta muncul juga UKM-UKM baru yang mengolah hasil kedelai lokal. Jadi dampak ekonominya besar sekali,” jelas Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten Grobogan Sumarsono saat Presentasi dan Wawancara Top 99 Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik di Kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) beberapa waktu lalu.
RKG hadir dengan ide utama untuk mengangkat kedelai lokal yang ditanam oleh para petani sehingga mampu menjadi tuan rumah komoditas utama di Kabupaten Grobogan. Selain itu, RKG juga didirikan atas adanya permasalahan yang berada di tingkat produsen, industri dan hilir, serta konsumen. Beberapa permasalahan tersebut antara lain dikarenakan produktivitas kedelai rata-rata masih berada dibawah potensi hasil, harga jual panen yang tidak menarik, banyak komoditas substitusi, industri perbenihan kedelai yang tidak berkembang, serta dominasi kedelai GMO impor dengan harga murah.
Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten Grobogan Sumarsono (tengah) saat Presentasi dan Wawancara Top 99 Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik
Kedelai produksi RKG dikenal juga sebagai keledai lokal non-GMO. Dengan adanya RKG, industri kedelai di Grobogan dapat meningkat dari sisi luas tambah tanam, luas panen, produksi, produktivitas, industri perbenihan, industri primer kedelai lokal, industri pengolahan berbasis kedelai lokal, serta meningkatkan kesadaran masyarakat akan faktor higienis dari hasil produksi kedelai.
Sumarsono menambahkan bahwa dengan adanya RKG, produktivitas hasil panen kedelai di Grobogan meningkat. “Saat awal RKG didirikan pada 2013, produksi kedelai hanya 31,05 persen dan meningkat jadi 43,08 persen pada 2017,” ungkapnya.
RKG memiliki berbagai layanan instalasi terpadu andalan dalam mengelola produktivitas kedelai dari hulu hingga hilir. Layanan terpadu tersebut berupa Seed Center, Learning Center dan Kebun Percobaan, Rumah Tempe dan Tahu Hygiena, Promotion Center dan Soybean Resto, serta Rumah Kemas. Instalasi terpadu ini merupakan inovasi dalam layanan data informasi, layanan pelatihan, dan pengembangan inovasi olahan berbahan baku kedelai lokal.
Selain dimanfaatkan oleh para petani kedelai di Grobogan, berbagai instalasi yang dimiliki oleh RKG menjadi daya tarik sebagai tempat belajar mengenai industri kedelai yang lengkap dari hulu hingga hilir. Mereka yang belajar ke RKG datang dari berbagai kalangan, mulai dari petani, masyarakat umum, penyuluh pertanian, pelajar dan mahasiswa, hingga berbagai instansi dari Kabupaten Grobogan maupun luar daeran dan provinsi. “Saat ini sudah ada 12 provinsi, 5 perguruan tinggi, dan 25 kabupaten/kota yang ikut berlatih di RKG,” imbuh Sumarsono.
Hasil pelatihan dari berbagai kalangan di RKG sudah membuahkan hasil. Diantaranya, replikasi RKG oleh daerah lain, yakni Rumah Kedelai Lamongan dan Rumah Kedelai Lampung.
RKG sebagai inovasi dalam bentuk layanan infomasi, pelatihan, dan pengembangan produk olahan kedelai lokal pun tidak berdiam diri. Pengembangan atas inovasi-inovasi berkelanjutan dari RKG telah dipastikan dengan tersusunnya Roadmap RKG 2015-2021 dan Roadmap Pengembangan Kedelai di Kabupaten Grobogan 2016-2020.
Pengembangan ini didasari oleh RKG sebagai pusat pembelajaran agrobisnis kedelai lokal yang juga memadukan teknologi kearifan lokal dengan teknologi hasil penelitian. Perpaduan teknologi dengan kearifan lokal ini membuat benih kedelai lokal lebih berkualitas dan dibarengi dengan sistem budidaya yang baik, akan meningkatkan produktivitas hasil kedelai.
Keberadaan RKG dapat mengubah citra kedelai lokal dalam segi kualitas yang tak kalah dengan kedelai impor, serta lebih segar, memiliki kadar protein yang lebih tinggi dan merupakan kedelai non-GMO. “Hal ini akan meningkatkan harga kedelai lokal diatas kedelai impor,” imbuh Sumarsono.
Pengembangan produk olahan juga akan disertai dengan pengembangan UMKM untuk meningkatkan produktivitasnya. Produk yang ada saat ini baru tempe dan tahu, nantinya akan dikembangan untuk kecap dan juga produk-produk yang lain. “Sehingga kita bisa bersaing dan bisa meningkatkan ekonomi masyarakat melalui komunitas kedelai,” pungkas Sumarsono. (ald/HUMAS MENPANRB)