Pin It

20181023 logo anugerah asn

Oleh: Suwardi ( Pranata Humas Madya Kementerian PANRB)

 

Dulu Kampung Agusen adalah daerah terpuruk yang begitu terkenal karena keburukannya. Sejak zaman penjajahan Belanda, kampung terisolir di pinggiran wilayah Kecamatan Blangkejeren, Kabupaten Gayo Lues, di pedalaman Aceh ini dijadikan sebagai lokasi pengasingan bagi penderita lepra.

Lalu, di era kemerdekaan, kampung terbelakang ini menjadi daerah yang terkenal sebagai penghasil ganja berkualitas premium. Meski ada di tempat terpencil, reputasinya sebagai kampung penghasil ganja terbesar di Aceh, populer sampai ke mancanegara.

Hampir semua keluarga di Agusen menggantungkan hidupnya pada hasil perdagangan komoditas haram ini. Masyarakat Agusen, laki-laki maupun perempuan, rela berjalan jauh dari tempat tinggal mereka ke lokasi ladang ganja di lembah nan terpencil di wilayah pegunungan Leuser. Betapa tidak, mereka butuh waktu tiga hari tiga malam untuk menuju tempat penanaman ganja yang sulit dijangkau itu.

Tapi di sisi lain, kehidupan di desa terpelosok ini terbilang mengenaskan. Anak-anak usia SD yang tinggal di dasar kaki pegunungan Leuser ini harus bersusah payah mendaki jalan yang terjal, untuk bisa sampai ke sekolah mereka yang ada di atas pegunungan. Anak-anak kecil itu bahkan harus berpegangan pada serabut akar pepohonan untuk bisa mendaki jalan yang curam. “Jika turun hujan, mereka tak bisa pergi ke sekolah. Saya sampai menangis saat melihat itu,” kata Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh, Sartika Mayasari, S.STP. MA.

 

Sartika

 

Anak-anak Kampung Agusen pun kebanyakan hanya bersekolah sampai SMP, karena tidak ada SMA di wilayah yang sangat terisolir itu. Selain itu, mereka kebanyakan hanya tinggal dengan nenek mereka dengan pola asuh yang seadanya. Pasalnya, kebanyakan ayah dan ibu dari anak-anak itu tengah mendekam di lembaga pemasyarakatan karena terlibat peredaran ganja. Akibat dari semua itu, tingkat pernikahan dini di Agusen sangat tinggi.

Namun, semua hal buruk itu kini sudah berubah 180 derajat. Kampung lumbung ganja dengan kondisi ekonomi yang memprihatinkan itu, kini bertransformasi menjadi sebuah kampung wisata yang cukup maju. Sebagian warganya bahkan kini cukup fasih berbahasa Inggris, dan telah disiapkan untuk menyambut turis mancanegara kelak. Bermodal keindahan alam kaki pegunungan Leuser yang sangat menawan, Kampung Agusen kini menjelma menjadi destinasi wisata alam unggulan di Kabupaten Gayo Lues. Sebagian warga lainnya lagi, beralih profesi dari petani ganja, menjadi petani kopi. Hebatnya, nama kopi Agusen, dan kopi Bungsu asli dari Agusen,kini mulai dikenal di daerah Gayo Lues, dan bahkan di seluruh Aceh.

Tapi, jangan salah. Untuk mengubah mindset warga Agusen yang terbiasa mendapat kemudahan menggantungkan nafkah sebagai petani ganja, menjadi petani kopi dan pelaku desa wisata jelas bukan perkara gampang. Beruntung, ada sosok Sartika yang punya tekad sangat kuat untuk mengubah keadaan buruk itu. “Butuh waktu empat tahun untuk mengubah kondisi Kampung Agusen ini,” ucap perempuan kelahiran Gayo Lues ini.

Perubahan bermula ketika Sartika menjabat sebagai Camat Blangkejeren pada 2014. Kedatangan Sartika awalnya tidak diterima oleh masarakat Agusen. Datang dengan pakaian biasa, Sartika mengalami penolakan. “Saya datang dengan pakaian preman (biasa) pintu ditutup, jendela ditutup,” ucap Sartika.

Esok harinya ia kembali mencoba datang, dan penolakan warga masih terus terjadi. Begitu pula di hari berikutnya. Barulah ketika suatu hari Sartika datang dengan pakaian dinas harian (PDH) resmi seorang Camat, lengkap dengan atributnya, warga mulai menerima dirinya dengan tangan terbuka. Bahkan, ketika mereka tahu bahwa Ibu Camat mau datang jauh-jauh ke desa mereka, mereka merasa dihargai.

Perlahan tapi pasti, Sartika terus berusaha agar diterima baik oleh warga Kampung Agusen. Camat perempuan pertama di wilayah Gayo Lues ini mengawali pendekatannya ke kalangan ibu-ibu. Ternyata, di daerah ini pengajian ibu-ibu belum ada. Anak-anak SD harus berjalan sejauh 4 kilometer untuk menuju sekolah mereka. Sedih ia menyaksikan bahwa masih ada daerah di wilayah kecamatannya yang seakan belum merasakan hasil-hasil kemerdekaan bangsa. “Ini dosa sosial kita, kalau kita tidak memperbaiki masalah yang ada di sana,” ujar Sartika.

Berdasarkan hasil pengamatan dan keterlibatannya ke warga kampung itu, Sartika pun membuat assessment, berusaha mencari solusi, dan mempresentasiknya di hadapan Bupati Gayo Lues. Setelah mendapatkan lampu hijau dari Bupati, salah satu lulusan terbaik IPDN angkatan 2007 itu pun mulai menjalankan programnya.

Kampung Agusen sejak dijadikan lokasi pengasingan penderita lepra tahun 1920, tak pernah disentuh oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. Semua itu diubah oleh Sartika. Ia menggelar kegiatan Pemda di Agusen, dan warga setempat dilibatkan dalam kegiatan itu. “Acara-acara tingkat kecamatan dan tingkat kabupaten, saya alihkan ke Agusen,” kata Sartika.

Selanjutnya beragam program ia jalankan di Agusen, seperti program kampung wisata, kampung KB, kampung bahasa Inggris, dan sebagainya. Ia pun mengajak berbagai pihak untuk datang ke Agusen, seperti Muspida, dan bahkan juga Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) Lestari. SD pun kini dibangun di lokasi yang jauh lebih dekat dengan rumah penduduk. Warga, ternyata sangat senang karena merasa diperhatikan oleh pemerintah. Selanjutnya, mereka pun dengan suka rela mau berpartisipasi di berbagai program pemerintah tadi.

Hasilnya, kondisi ekonomi Kampung Agusen maju pesat. Di bawah asuhan pelaku usaha profesional dan juga USAID Lestari, warga Agusen kini sukses berkebun kopi. Kini, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi ikut memberikan bantuan berbagai peralatan perkebunan kopi. Merek kopi Agusen dan Kopi Bungsu pun laris diminati warga Aceh.

Tak hanya itu. Turis lokal kini memadati Agusen setiap Sabtu dan Minggu. Pemuda dilibatkan aktif dalam program ekowisata religi. Mulai dari sebagai pemandu wisata atau guide, sampai pengelola parkir kendaraan turis. Malah, omset kelompok pemuda Agusen yang mengelola parkir saja, kini bisa mencapai Rp 5 juta dalam seminggu. Artinya, mencapai Rp 20 juta dalam sebulan.

Beberapa rumah penduduk sudah siap untuk menerima turis di program homestay ekowisata. Melalui produk ekowisata ini, turis mendapatkan kesempatan untuk belajar mengenai alam, budaya masyarakat, dan kehidupan sehari-hari di lokasi wisata kaki gunung Leuser yang kaya akan jernihnya sungai dan sejuknya hawa hutan pegunungan.

Kampung Agusen pun kini maju, dan bukan lagi daerah terpuruk yang terkenal karena keburukannya.

 

Nama                            : Sartika Mayasari, S.STP. MA.

Tempat, Tanggal Lahir    : Blangkejeren, 23 Juli 1985

Pendidikan                   : D-IV Manajemen Sumber Daya Aparatur Institut Pemerintahan Dalam Negeri; S-2 Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada

Jabatan                       : Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh