JAKARTA – Maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian di Kota Bogor, mendorong pemerintah di Kota Hujan itu mendirikan Sekolah Ibu. Inovasi yang ditujukan bagi para ibu itu bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan seorang ibu dalam melaksanakan perannya. Peserta Sekolah Ibu mengikuti 20 pertemuan dan mendapatkan materi sebanyak 18 modul yang disusun oleh Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK) bersama tim ahli Institut Pertanian Bogor (IPB).
Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto menerangkan, lahirnya Sekolah Ibu adalah bentuk kepedulian pemerintah terhadap permasalahan sosial, terutama yang melibatkan keluarga. “Dengan sekolah ibu ketahanan keluarga akan lebih baik, fungsi keluarga akan berjalan dengan maksimal,” ungkap Bima, dalam tahapan Presentasi dan Wawancara Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB).
Sekolah nonformal ini meningkatkan peran ibu sebagai seorang istri bagi suami, ibu sebagai pendidik pertama dan utama bagi anaknya, dan ‘manager’ keuangan bagi keluarga. Peran lain yang dikuatkan adalah peran ibu sebagai seorang dokter dan psikolog bagi anggota keluarga, sebagai konselor gizi bagi keluarganya, serta sebagai fasilitator dan mediator bagi anggota keluarga.
Pemerintah Kota Bogor saat mempresentasikan inovasi SEKOLAH IBU dalam KIPP 2019 dalam KIPP 2019 di Kantor Kementerian PANRB.
Kegiatan pembelajaran dilakukan secara berkala dengan sasaran perempuan yang sudah menikah. Praktik Sekolah Ibu biasa dilakukan di aula kelurahan dan dilaksanakan dua kali seminggu selama tiga bulan.
Bima mengaku, Sekolah Ibu memberikan kontribusi positif yang signifikan terhadap permasalahan sosial yang dihadapi masyarakat. Gugatan cerai yang diajukan oleh istri pada tahun 2017 yang mencapai 54 perkara, tahun 2018 menurun menjadi 43 perkara. Kasus kekerasan terhadap perempuan tahun 2017 yang mencapai 77 kasus, tahun 2018 menjadi 53 kasus. Sementara kasus kekerasan terhadap anak tahun 2017 mencapai 57 kasus, tahun 2018 menjadi 56 kasus.
Pelaksanaan Sekolah Ibu mendapat respon positif dari masyarakat. “Bahkan ada seorang peserta yang sedang dalam proses perceraian, kembali rujuk setelah mengikuti konseling selama pelaksanaan Sekolah Ibu,” ungkap Bima.
Dampak dari Sekolah Ibu telah diteliti oleh IPB pada tahun 2018. IPB menggunakan beberapa aspek yang dijadikan dasar penilaian dalam penelitian tersebut. Aspek-aspek itu adalah fungsi keluarga, ketahanan keluarga, serta kesejahteraan keluarga.
Hasilnya, penelitian IPB menunjukkan fungsi keluarga dan ketahanan keluarga mengalami peningkatan. Peningkatan fungsi keluarga yaitu, mengajarkan aktivitas agama kepada anak, memberikan contoh tanggung jawab kepada anak, menerima kekurangan dan kelebihan pasangan, mengucapkan kata maaf dan memanfaatkan pekarangan rumah untuk bercocok tanam. Sedangkan peningkatan ketahanan keluarga yaitu keluarga mampu menanggulangi kesulitan ekonomi, keluarga memiliki waktu khusus bertemu setiap hari, ibu merasa puas dengan rumah yang ditempati dan suami suka membantu istri.
Bima menjelaskan, inovasi ini berpotensi diadaptasi di daerah lain, bahkan di tingkat nasional. “Mengingat keluarga adalah unit terkecil yang ada di wilayah suatu bangsa. Keluarga yang kuat, kuat pula sebuah bangsa,” tutup Bima. (don/HUMAS MENPANRB)