Selamatan Arioyo atau Selamatan Hari Raya yang dilakukan oleh warga Desa Gedangan, Karangmojo, Gunung Kidul.
GUNUNG KIDUL – Islam dapat berkembang dengan pesat di Indonesia karena disebarkan melalui berbagai metode yang dekat dengan masyarakat. Wayang, seni gamelan, tembang, serta perayaan adat yang disisipi nilai-nilai Islam digunakan sebagai metodenya kala itu oleh para Wali yang dikenal dengan Wali Songo.
Masyarakat Desa Gedangan, Karangmojo, Gunung Kidul, membawa tradisi selamatan untuk menyambut hari besar seperti pernikahan, kelahiran, peringatan hari kematian, syukuran panen, dan hari besar lainnya. Salah satu tradisi selamatan yang disisipi oleh nilai Islam adalah selamatan Arioyo atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai Selamatan Hari Raya.
Selamatan ini dilaksanakan pada malam menjelang Hari Raya Idulfitri. Biasanya acara akan dilangsungkan selepas salat Magrib atau salat Isya. Mereka yang hadir adalah para tetangga terdekat yang berkumpul di satu rumah warga. Berbeda dengan selamatan pada umumnya dimana tuan rumah menyiapkan hidangan, pada selamatan Arioyo masing-masing kepala keluarga yang hadir akan membawa makanan sendiri.
Makanan yang dibawa oleh masing-masing kepala keluarga biasanya diletakkan di atas sebuah tampah beralas daun pisang. Isinya bermacam-macam, mulai dari ketupat, tumpeng, gudangan, apem, ingkung ayam, dan sebagainya. Masing-masing panganan yang dibawa sarat dengan makna dan filosofi yang mendalam.
Ginun, salah satu sesepuh desa menjelaskan bahwa gudangan memiliki makna persatuan dan gotong-royong dalam masyarakat. Gudangan atau di Indonesia dikenal dengan sayur urap merupakan makanan yang dibuat dari berbagai macam sayuran kemudian dibumbui dengan kelapa parut dan rempah-rempah yang telah dihaluskan.
“Gudangan itu isinya berbagai macam, rasa sayurannya berbeda-beda. Tapi setelah dicampur menjadi satu rasanya malah enak. Ini menjadi simbol bahwa perbedaan baik di keluarga maupun di masyarakat, apabila disatukan, lalu kita guyub rukun, itu bisa membawa ketentraman dan kenikmatan hidup,” ucapnya saat membuka Selamatan Arioyo.
Tidak hanya filosofi gudangan, Ginun juga menjelaskan tiap-tiap makna makanan yang ada di atas tampah. Ketupat misalnya, penganan khas Hari Raya di Indonesia ini diartikan sebagai bentuk pengakuan dosa dan kesalahan manusia pada yang Maha Kuasa. “Ketupat itu singkatan dari ngaku lepat atau mengakui kesalahan. Mengakui kesalahan pada siapa? Ya tentunya dua arah. Mengakui kesalahan pada Gusti Allah dan mengakui kesalahan pada sesama manusia. Harapannya ya kita bebas dari kesalahan di Hari Raya,” imbuhnya.
Apem menjadi satu-satunya hidangan manis di dalam tampah. Tidak hanya manis, ternyata apem yang di letakkan di atas tampah juga memiliki arti tersendiri. Menurut Ginun, pelafalan kata “apem” dekat dengan pelafalan kata “ampun” yang berarti meminta ampunan. Sementara tumpeng nasi memiliki makna tumindak sing lempeng atau berperilaku yang lurus. Artinya tumpeng menjadi penanda harapan agar warga senantiasa memiliki perilaku yang baik usai beribadah di bulan Ramadan.
“Saya tidak tahu apakah ini karangan nenek saya atau memang sejarahnya seperti itu, tapi itu yang diajarkan pada saya bahwa apem punya filosofi memohon ampunan karena pelafalan katanya yang cukup dekat,” tutupnya.
Selamatan Arioyo diisi dengan lantunan doa-doa sebagai ucapan syukur atas berkah yang telah diberikan Allah SWT selama menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadan. Dalam doa tersebut juga disisipkan permohonan keselamatan untuk anak, cucu, dan keturunan para warga yang hadir. Tidak hanya tokoh masyarakat dan warga, selamatan ini juga dihadiri oleh pemuka agama setempat.
Para pemuka agama di desa inilah yang memimpin doa pada saat selamatan berlangsung. Gandung merupakan salah satu tokoh masyarakat yang sering diminta memimpin doa saat selamatan berlangsung, namun ia menolak jika dipanggil ustaz.
Di sela-sela selamatan Gandung menjelaskan mengenai asal mula tradisi Selamatan Arioyo. Sejak ia kecil, kegiatan semacam ini telah tumbuh di masyarakat, namun dahulu doa yang dipanjatkan bukan kepada Tuhan Yang Maha Esa melainkan pada roh leluhur. Kegiatannya juga tidak spesifik untuk menyambut Hari Raya Idulfitri. Namun, setelah pengetahuan Islam masyarakat semakin desa berkembang, pengaruh Islam dalam doa dan tradisi pada umumnya semakin kuat.
“Sejatinya dalam Islam memang tidak ada selamatan semacam ini menjelang hari raya, Kanjeng Nabi tidak pernah mengajarkan. Tapi turun-temurun di sini acara semacam ini dipertahankan karena dulu dakwah Islam masuk lewat tradisi masyarakat juga. Lagipula sekarang masyarakat tahu bahwa kalau berdoa ya hanya pada Tuhan, bukan pada yang lain,” tutur Gandung.
Tradisi ini menjadi bukti bahwa Islam berkembang tidak dengan pemaksaan ataupun kekerasan. Filosofi di dalam perayaan Selamatan Arioyo menjadi pengingat bahwa sejatinya segala aspek kehidupan manusia begitu dekat dengan Tuhannya. (rum/HUMAS MENPANRB)